Friday 30 December 2016

Jatuh cinta diam-diam?

     Hay selamat malam,

     Malam ini aku bingung ingin menulis apa, jujur aku masih syok dengan kejadian kemarin. Handphone ku hilang, dan semua puisi-puisi, dan cerpenku juga ikut hilang. Tapi lebih dari itu semua, aku hampir putus asa akan emailku, dan terimakasih sekali atas bantuan omku, emailku bisa kembali lagi. Meskipun aku harus kembali menabung untuk bisa membeli handphone, tapi setidaknya aku tidak jadi mengecewakan para client yang sudah mempercayakan tugasnya kepadaku. Juga tak kehilangan blog ini.
     Oh iya, kemarin malam salah satu temanku bertanya, sekaligus mengadukan semua keresahan hatinya. Dia bilang, dia sedang jatuh cinta. Tapi jatuh cinta yang tidak biasa. Jatuh cinta seperti apa? jatuh cinta diam-diam. Dia hampir meneteskan airmata, jujur aku paling tak suka melihat wanita cengeng. "Jatuh cinta diam-diam itu sakit, seperti puisimu bilang." Ahh aku tidak setuju! Jika sakit, ya memang sakit sih. Terlebih aku adalah orang yang sering mengalami hal seperti itu. Tapi itu semua tidak patut untuk ditangisi! Hidup akan terus berlanjut bukan?
     Menurut kamu, apa yang lebih menyedihkan dari sekedar mencintai diam-diam?
Disini siapa yang tidak pernah mengalami hal seperti itu? Menurutku rasanya sangat aneh. Dilain sisi kamu bisa lebih terlihat bodoh, tapi disisi lain kamu bisa lebih terlihat pintar. Bodoh karena hanya kamu yang merasa, juga pintar karena kamu mampu tersenyum dibalik luka. Karna sebuah kepintaran tidak selalu tentang bersabar.
     Dan menurut kamu, apa yang lebih menyenangkan dari sekedar dicintai diam-diam?
Lagi, dan lagi aku bertanya, disini siapa yang tidak pernah mengalami hal seperti itu? Menurutku rasanya sangat membingungkan. Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah tahu bahwa ada orang yang menaruh hati diam-diam. Dan terkadang, orang yang menyimpan perasaan kepada kita bisa berubah 180 drajat dari biasanya.
     Jadi menurut aku, baik dicintai atau mencintai diam-diam itu sama-sama sakit. Sama-sama tidak ada pihak yang diuntungkan. Jika kamu mencintai seseorang, lebih baik katakan saja. Sekalipun kamu wanita, katakan apa yang sedang kamu rasakan. Katakan saja, yang terpenting jangan sampai lupa bahwa kamu adalah wanita. Katakan dengan kata yang tak membuat harga dirimu jatuh :)

-MRA

Panimbang, 30 Desember 2016.

Thursday 15 December 2016

Diujung Mendung Bulan Desember

Aku pernah membayangkan seseorang untuk tetap tinggal.
Namun kenyataanya,
Realita dan hayalan tak selalu bisa berjalan berdampingan.
Aku pernah merasa tersakiti dibulan ini. Menangis ditengah hujan yang turun dengan begitu deras,
Berteriak ketika kilatan petir datang,
Dan terisak diujung jendela bersama tetesan air.

Lalu mendung menyapaku lagi,
Terus saja begitu sampai bulan ini habis.
Dingin hadir seakan memelukmu adalah obatnya.
Aku pernah merasa ingin sekalipun itu sulit.
Lalu membayangkan mu,
Mungkin terdengar agak kotor.
Tapi dengan cara apa lagi agar terus bisa membuatmu hidup?

Aku sudah terlalu mencintaimu sekalipun kau tidak.
Aku mencintaimu,
Meski diujung mendung bulan desember, aku mati.
Aku mati dengan segala keinginanku.
Aku mati bersama rindu, cinta,
Dan semua yang kini menjadi batas.

Aku mati sekalipun aku tak ingin.
Namun aku masih berusaha menunggu,
Menunggu kau membawa payung,
Dan meneduhkan ku ditengah badai.
Untuk segala perjuangan kita.
Karna inginku hanya satu; aku tak ingin segalanya jadi percuma.
Maka kembalilah, karena hujan belum juga reda.

Panimbang, 15 December 2016.
Catatan Lelaki patah hati, Rivall Ali.

Sunday 7 August 2016

Terhitung Dari Kepergianmu

Terhitung dari kepergianmu,
Aku masih merasakan hujan belum juga reda.
Setiap tetes cinta masih terus membasahi hati.
Aku teringat mengenalmu seketika mendung, hujan membasahi bumi.
Namun tak menyangka mendung, hujan membuatmu pergi.

Hadirmu sangat disayangkan.
Kau datang lalu menyisakan harapan.
Tanpa permisi kau menghilang.
Tanpa perasaan aku dibuatmu meriang.

Aku tak tahu sampai kapan akan diam di masalalu.
Aku tak yakin untuk tidak memikirkan mu.
Aku seolah terjebak.
Namun aku sadar, aku yang membuat jalan seolah berputar-putar.
Aku masih mengharapkan mu untuk kembali.

Terhitung dari kepergianmu,
Aku masih mencinta.
Bahkan selalu mencinta meski kini kau sudah bahagia.
Aku turut bersyukur ternyata dia mampu membuatmu tersenyum.
Aku jadi teringat satu hal;
Mungkin aku tidak diciptakan untuk berada paling depan.
Mungkin peranku hanya untuk berada dibelakang.
Mungkin aku diciptakan untuk mencintaimu lewat diam.
Dan mungkin, kamu adalah alasan ku untuk tidak berhenti berjuang.
Mungkin saja.

Panimbang, 7 Agustus 2016.
Catatan Lelaki patah hati, Rivall Ali.

Saturday 14 May 2016

Too Late


Siapa yang tak sakit hati? Adam seakan menghilang tanpa jejak, seakan lupa akan apa yang telah ia perbuat, seakan lari dari tanggung jawab, seakan mematahkan harapan yang sudah Natasha titipkan kepadanya.

Lalu, Adam datang kembali untuk membalut luka yang telah ia perbuat. Seakan tanpa dosa menawarkan cinta, sementara ia datang terlambat.

"Adam." Natasha menghela napasnya.

Wanita itu lalu menatap lurus seseorang didepannya, seakan hendak menikam. Meski dalam hati ia tak menyangka pria ini akhirnya mau kembali menampakan batang hidungnya.

"Yang sudah kamu lakukan ke saya itu jahat!" tukas Natasha.

Adam menunduk, hatinya berkecamuk. Persis seperti Nicolas Saputra yang duduk tak berdaya didepan Dian Sastro. Tak tahu harus apa, tapi jujur yang ia inginkan saat ini hanyalah kembali dan meminta maaf, meskipun ia tahu semua alasan yang ia ucapkan tak mungkin bisa untuk didengar Natasha.

"Saya bukan Rangga." gumamnya.

Natasha tersenyum sinis. Ia semakin mempertajam tatapannya, sampai-sampai membuat Adam tak berani untuk mendongak, untuk membalas tatapannya.

"Pergi tanpa pamit, tidak meninggalkan kabar, dan kembali untuk memulai semuanya dari nol? Apa bedanya kamu dengan Rangga?" tanya Natasha dengan nada yang sengaja dinaikan satu oktaf.

Adam terdiam, membisu. Bodoh, memang bodoh. Habis manis sepah dibuang? Wanita mana yang ingin diibaratkan permen karet?

"Jika kau menganggap cinta itu permainan, kau salah." kemudian Natasha menenggak capucino-nya, sembari kini mengamati cafe yang mulai ramai.

Menatap siapa yang tak berani menatap kita, sama sekali bukan apa yang diinginkan nya saat ini. Yang jelas, wanita itu hanya ingin menuntut sebuah kejelasan, bukan malah menakut-nakuti anak orang.

Adam menghela napasnya. "Tapi aku tak pernah menganggap kau adalah mainanku."

"Kau tahu bagaimana rasanya dipermainkan rindu?" Sejenak Natasha terdiam, mengaduk-aduk kopinya sembari mencoba mengatur emosi. Tapi sedetik kemudian ia melanjutkan perkataannya.

"Jika memang aku bukan bagian dari permainanmu, kenapa kau tidak pernah memberi kepastian tentang cinta yang sudah kita bangun semasa SMA dulu?" tanyanya, kali ini dengan nada biasa.

Adam mendongak, dan untuk pertama kalinya ia mulai berani menatap Natasha setelah satu jam lebih hanya bisa menatapi kedua sepatunya saja.

"Tapi sepertinya kau keliru." ucap Adam.

Natasha mengerutkan dahi, tatapan mereka lalu bertemu.

"Jika memang aku keliru, mengapa tidak kau beri penjelasan agar aku tidak beranggapan bahwa kau adalah penjahat, atau pembunuh tersadis yang pernah aku kenal?"

"Aku bukan pembunuh, memangnya apa yang sudah aku bunuh?"

"Kau bertanya apa yang sudah kau bunuh?" Natasha terbahak. "Apa kau menganggap semua wanita tidak punya hati?"

Dan untuk kedua kalinya lagi, Adam terdiam membisu. Kemudian hening.

Suasana cafe tiba-tiba saja semakin memanas, meski wanita berambut sebahu itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tenang. Tapi entah kenapa pria didepannya ini sangat mudah sekali membuat emosinya naik sampai ke minus seribu, terlebih setiap kali Natasha menatap matanya seakan hatinya ikut tersayat mengingat akan ulahnya dulu.

Natasha menghela napas. "Aku sudah menikah."

Wanita itu lalu mengangkat tangan kirinya, tepat dijari manis itu Adam melihat sebuah cincin melingkar dengan cantik.

"Kau bercanda?" tanya Adam dengan nada gemetar tak menyangka.

Natasha menggeleng. "Jika kau hanya berani memulai kisah tanpa ingin menjadi penutup yang baik, biarku selesaikan endingnya sendiri."

"I-itu tidak mungkin."

"Kau tahu tentang jodoh?" tanya Natasha. "Tuhan tidak akan mungkin salah ketika ia mempasang-pasangkan umatnya, dan atas kepergianmu, aku berterimakasih sekali karena tuhan telah menunjukkan bahwa kau bukanlah jodoh yang baik untuk diriku."

"Tunggu, lalu bagaimana dengan.." ucapan Adam tertahan di tenggorokan.

Pria itu menatap Natasha dalam, dan seiring tatapannya, setetes bening lalu jatuh di ujung mata. Sebuah penyesalan akhirnya terjadi hari ini.


Natasha meraih tangan Adam, dan menggenggamnya. "Kau jangan takut, kau masih bisa bertemu dengan Karin."

Adam tersenyum.

Bukan, ini bukan keinginan Natasha untuk melihat seorang pria menangis didepannya. Tapi jika dibandingkan dengan ulahnya dulu, sudah berapa banyak airmata yang Natasha jatuhkan ketika ia pergi tanpa alasan.

"Jadi namanya Karin?" tanya Adam.

"Karina Putri."

"Dan dia perempuan?"

Natasha mengangguk.

Tak lama sebuah mobil alphard putih berhenti tepat didepan cafe. Seseorang kemudian menampakan dirinya di balik jendela.

"Itu suamiku." ucap Natasha. Adam menoleh ke arah mobil itu.

"Maaf, aku tak bisa lama-lama. Terimakasih atas waktunya, semoga kau menemukan siapa yang menurutmu pantas dan lebih baik daripada aku."

Natasha kemudian berlalu, dengan menyisakan sebuah harapan yang sengaja ia patahkan. Sebenarnya bukan maksud wanita itu untuk berbalas dendam. Tapi waktu akhirnya mengajarkan bahwa diam tidak selalu emas. Terlebih ketika ia dikecewakan.

Setibanya Natasha di dalam mobil, seorang anak kecil lalu menatapnya aneh. Mungkin karena raut wajah Natasha tidak seperti biasanya.

"Mama kenapa?" tanyanya.

Natasha menggeleng, secepat kilat ia mencoba mencari alasan untuk mengganti topik pembicaraan.

"Oh iya, tadi makan siangnya dihabisin nggak?"

"Dihabisin dong."

"Wah hebatnya." ucap Natasha. Sebuah kecupan lalu mendarat dipipi anak berumur 7 tahun itu.

"Oh ya, sha. Kau sudah beli cincin untuk pertunanganku kan?" timpal seorang pria didepannya, sembari tetap fokus mengemudi.

Cincin? gumam Natasha. Wanita itu lalu melirik ke jari manis tangan kirinya. Ia baru sadar bahwa cincin yang ia pakai adalah mas kawin untuk pernikahan sepupunya.

Natasha terbahak, membuat seisi mobil semakin keheranan.

"Ada kok, aku udah beli, tenang aja." ucapnya memastikan.

"Sukur lah, Sha. Oh iya bagaimana dengan Adam?"

"Adam?" tanya Natasha.

"Iya, Adam. Sukses tidak?"

"Oh, Sukses dong."

"Hah, yang benar?"

Natasha mengangguk. "Dan terimakasih juga berkat cincinmu, aku jadi bisa membuat skenario yang cantik."

"Memangnya kau sudah mantap dengan keputusanmu?"

Natasha mengangguk. "Dion, harga diriku ini sudah dia injak-injak dengan seenaknya, dia pergi seenaknya, dan datang dengan seenaknya. Kau kira hidup menjadi aku itu enak? Terlebih ketika aku hamil pun jangankan untuk bertanggung jawab, menanyakan kabar tentang kandunganku pun tidak."

Dion tersenyum.

Sebenarnya apa yang dikatakan Natasha sangatlah benar, perlakuan Adam memang sangatlah jahat. Disaat wanita itu jatuh, hancur, seakan mati adalah pilihan yang terbaik. Adam malah pergi membuat semua keadaan semakin runyam.

Natasha hamil ketika ia lulus dari SMA-nya. Namun ketika wanita itu meminta pertanggung jawaban, Adam malah menghilang tanpa jejak.

Pria itu memang blasteran Indo-Jepang, ayahnya meninggal ketika ia berumur 17 tahun. Ia anak tunggal, sementara ketika ayahnya meninggal, sang ibu pulang ke negri asalnya. Adam tinggal sendiri disini, dan mungkin ketika ia mengetahui Natasha hamil, pria itu pulang ke ibu-nya.

Natasha sempat ingin pergi ke Jepang untuk mencarinya, tapi keinginannya pun kandas seiring waktu menjelaskan bahwa dia bukanlah sosok pria yang pantas untuk dikejar.

"Tapi aku beruntung memiliki Karin." lanjut Natasha, wanita itu lalu menoleh ke arah anak kecil disampingnya. "Buat aku dia adalah segalanya, dan aku bahagia meskipun aku tahu untuk bisa benar-benar bangun itu susah."

"Ya, dan aku tahu kau single mom yang sangat hebat." ucap Dion membanggakan.

Natasha tersenyum.

"Sebenarnya aku bukanlah single mom seperti apa yang oranglain katakan. Pada akhirnya aku memang harus hidup sendiri, mengurusi anakku sendiri, membesarkannya agar tidak bernasib sama seperti ibunya. Pada akhirnya aku memang harus menjadi kuat sendiri, untuk anakku, untuk keluargaku, untuk orang-orang disekitarku. Aku memang tidak mampu untuk bangun dari sosok Adam. Pria itu akan selalu hidup, dan melekat diingatan. Tapi jika aku tidak sudahi sekarang, sampai kapan aku akan bisa benar-benar bahagia? Sekalipun ia menangis darah meminta agar kita untuk bisa kembali, kembalikan dulu waktu yang sudah ia buang secara percuma." batin Natasha.

- The end -

Friday 1 April 2016

Pamit

Pagi itu tampak sunyi, setelah selesai sarapan Diana langsung memapah suaminya kedepan dan membantu mengenakan dasi dengan tatapan kosong tak seperti biasanya. Lalu sebuah bening tiba-tiba jatuh di ujung mata seakan memberi isyarat bahwa ia tidak baik-baik saja hari ini.

"Apa aku boleh menahanmu?" tanya Diana penuh harap. Matanya sayup, tubuhnya gemetar, dengan napas yang tak beraturan.
Alex mengerutkan dahinya. Ia mendengar sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak biasa Diana tanyakan.
"Ada apa?" tanya pria tinggi tegap itu keheranan.
"Kemarin aku bermimpi buruk tentangmu," Diana menunduk. "Mataku selalu berkedut akhir-akhir ini, dan tadi aku memecahkan vas bunga padahal aku sudah sangat hati-hati."
Alex menatap lurus wanita di depannya, ia lalu mengusap lembut rambut Diana. "Itu mungkin firasatmu saja."
"Firasat?" gumam Diana. "Oh, ya mungkin saja. Tapi apakah boleh aku menahanmu?"
Alex menggeleng. "Tidak untuk hari ini, sayang."
"Aku hanya takut sesuatu terjadi kepadamu!" ucap Diana sembari berjalan ke depan dan menengadah ke arah langit yang cerah. Tangannya setengah memeluk tiang rumah, masih dengan raut wajah yang basah.
"Aku hanya takut ketika kau terbang tak bisa turun, atau bahkan takut ketika terbang lalu jatuh."
Alex terdiam tak mengerti, lalu dia mengejar Diana dan berhenti tepat dibelakangnya.
"Satu hal yang aku takut darimu, kau tidak bisa pulang dengan raga yang utuh." ucap Diana sedih.
"Kau harus bisa melawan firasatmu itu."
"Jika mudah, mungkin sudah aku lakukan sedari dulu."
"Aku yakin kau pasti bisa."
"Pasti, tapi aku ingin kau tetap disini."
"Diana, aku ini punya tanggung jawab yang sangat besar."
"Kau juga harus paham aku ini berbeda!"
Alex terdiam lagi. Diana memang berbeda, terlebih ia tak pernah nyaman akan hidupnya dan selalu merasa takut.
"Tapi jika kau ingin pergi, pergi saja. Lagian siapa yang mau berlama-lama hidup bersama orang yang punya banyak perbedaan."
"Diana, aku tulus mencintai kelebihan dan kekuranganmu!" tegas Alex. "Lagian aku tak pernah mempermasalahkan siapa kamu dan apa perbedaanmu!"
"Aku hanya ingin kau tetap disini, apa susahnya?" Diana membalikan badannya. "Kau tahu aku ini yatim? Bahkan kematian ayah sudah ku ketahui sebelumnya."
"Diana.."
"Atau Lala, adikku yang jatuh dari lantai atas rumah kita?"
"Tidak, Diana."
"Dan Leon?"
"Hentikan Diana!" bentak Alex.
Wanita itu terdiam, ia membuang wajahnya kesamping.
"Kau harus melawan itu semua, aku baik-baik saja, dan aku pasti akan baik-baik saja!"
"Kau tahu bagaimana perasaanku saat ini?" tanya Diana lirih.
"Aku tahu, aku tahu sekali bagaimana perasaanmu, aku selalu tahu!"
Diana menghela napasnya, kemudian hening sampai akhirnya ia mengusap airmata dan memeluk Alex erat. Mungkin ini hanya firasatku saja, mungkin sudah saatnya aku melawan firasatku, batin Diana.
"Aku akan baik-baik saja, Di." Alex membalas pelukan istrinya. "Kamu jangan takut!"
Diana lalu mengangguk. Sesuatu mungkin akan terjadi setelah ini, dan apapun itu Diana harus siap menerimanya.
"Pergilah sayang, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu!" ucapnya berbisik.
Alex mengangguk. "Kau harus percaya, aku akan baik-baik saja."
"Aku percaya suamiku." Diana melepas pelukannya, ia lalu mengenakan topi pilot dikepala suaminya.

Tak lama, Alex pun pergi menuju bandara untuk menjalankan tugasnya. Namun tiga puluh menit ketika ia berhasil terbang, tiba-tiba saja pesawat yang ia terbangkan meledak di atas menewaskan seluruh petugas dan penumpang yang ada disana, termasuk dirinya.
Diana hanya bisa menangis ketika kabar itu muncul di televisi. Ia sangat menyesal tak berhasil menahan Alex untuk pergi.

Dan pagi itu tampak sunyi, hanya terdengar isakan tangis orang-orang yang mengiringi jenazah Alex menuju tempat terakhirnya.
Diana masih tak habis pikir Alex anak meninggalkan dirinya secepat ini. Ia hanya bisa menatap batu nisan itu, sembari sesekali mengusap airmatanya dengan tisu. Namun hari tak terasa semakin gelap, gemericik hujanpun mulai turun satu demi satu.
Diana menengadah, ia mendapati awan yang mulai menghitam dan basah.
"Sayang, lihatlah langit yang biasa kau lewati itu, ia ikut menangis menyadari takdir bahwa kau tak akan lagi bisa terbang seperti biasanya." ucap Diana. "Maaf aku tak berhasil menahanmu."

Friday 26 February 2016

3600 detik


Aku melihat dia keluar dari kelasnya.
Hari ini masih sama, dia tetap cantik dengan kemeja merah, celana jeans yang dilipat, dan sneakers adidas model terbaru. Selalu tampil casual dengan ciri khasnya.
Satu bulan mengenalnya sangat cukup untuk mengetahui bagaimana karakteristik wanita berrambut sebahu itu.
Tunggu, mengenalnya? Ah, mungkin lebih tepatnya mengamati dia dari belakang. Ala-ala spy gitu.
Aku tahu kita banyak sekali persamaan. Sama-sama mencintai sastra.
Ya, aku adalah salah satu mahasiswa swasta di Banten. Memilih jurusan Sastra Indonesia membuatku benar-benar yakin akan masa depanku. Dan Dia, wanita yang kini berjalan di depanku pun sama. Kita hanya dipisahkan oleh ruang dimana kita belajar.
Namun begitu aku masih bisa menatapnya, bahkan sesekali ia pun menatapku, dan melontarkan senyum.
Ah, ya! Apa ini sudah saatnya aku mengenal dia lebih jauh? Lagian Aku tak begitu jelek, bahkan IP ku di atas yang lain.
Aku tahu dia pasti sudah mengenal namaku. Iya, hanya nama. Bukankah karyaku sering muncul di Mading kampus? Bahkan tak jarang terbit dikoran dan majalah.
Lalu aku melirik ke arah jam ditanganku. Sekitar pukul 17.20 wib, dia berjalan sendiri dengan suasana koridor yang sepi. Aku mengekor dibelakangnya sembari tak bisa untuk tidak melirik ke arahnya.
Bodoh! Apa aku tak takut jika dikira penjahat? Atau penguntit? Atau...
"Bagaimana kalau kita jalan bareng?"
Deg!
Aku shock ketika mendapati wanita itu kini berdiri tepat di depanku. Jelas saja siapa yang tak curiga di ikuti pria dengan gelagat aneh sepertiku? Meskipun pada dasarnya kita berjalan ke arah yang sama.
Dengan gugup aku mengangguk sebelum akhirnya kita melanjutkan langkah, bersama.
Tapi tanpa ia sadari sebenarnya hatiku malah bersorak, ini momment yang paling aku tunggu-tunggu. Tak begitu buruk meski ku tahu sebelumnya ia sempat mencurigaiku. Ya, kali ini keberuntungan berpihak kepadaku!
"Aku, Rival." ucapku mengulurkan tangan.
Dia menoleh ke arahku sembari melempar senyum. Ini kali pertama aku melihat senyuman manisnya dari jarak dekat, dan itu luar biasa.
"Nadya." jawabnya lalu menjabat tanganku.
Lembut, hanya itu yang aku rasa. Bukan, dia bukan selimut. Aku tahu, tapi entah kenapa tangankku seakan tak ingin melepaskan tangannya.
"Salam kenal." ucapku.
Ia mengangguk.
"Mau pulang?"
"Iya."
"Kok keluar terakhir?."
Nadya tersenyum. "Semuanya udah tau kali kalo aku mapala."
"Mapala?" tanyaku. "Maksudnya?"
"Ya, mahasiswa paling lama."
"Oh." Mulutku membulat sambil cengengesan. "Emang ada tugas?"
Nadya mengangguk lagi.
"Tugas apa?"
"Cerpen."
"Terus udah."
"Udah."
"Btw, tentang apa?"
"Cinta."
"Wah, pasti galau dong?"
"Hahaha.." Nadya terbahak. "Sedikit sih."
"Kalau boleh tahu, judulnya apa?"
"Remember Rain."
"Tuh kan dari judulnya aja aku udah bisa nebak kalau ceritanya pasti galau banget." ucapku. "Kapan-kapan aku baca ya?"
"Hahaha.. Dengan senang hati, tapi jangan baper ya?!"
Aku terbahak. Baper hanya karena baca cerpen? Ah, Sebenernya sering sih. Apalagi kalau yang berbau perpisahan. Hmm, ternyata tidak butuh waktu lama untuk bisa sedekat ini.
"Iya deh janji, tapi pengen tau dulu quotenya apa?"
"Karna hujan selalu hadir dengan rindu yang belum sempat tersampaikan." ucap Nadya menatapku.
Deg!
Aku terdiam, jadi belum apa-apa aku sudah galau duluan? Ah! Bukan karena quotenya saja, tapi karena aku juga yang selalu canggung jika ditatap wanita, apalagi dengan tatapan yang lurus.
Lalu tak lama tiba-tiba hujan turun ketika kita tiba di depan pintu keluar. Dari awal memang sudah gerimis, ditemani suara petir yang sedikit menggelegar.
Ini mungkin akan lama, aku melihat raut ke kecewaan di wajah Nadya. Aku tahu ini sudah sore menjelang maghrib, sedangkan diluar hujan turun begitu lebat. Dan antara pintu keluar kampus menuju parkiran sangatlah jauh. Tak mungkin jika kita harus menerobosnya.
Tapi meski begitu, aku sih senang bisa berlamaan dengan Nadya. Dengan begitu, aku bisa mengenalnya lebih jauh dan jauh lagi. Oh god! Ini kedua kalinya keberuntungan berpihak kepadaku. Terimakasih hujan!

Nadya menghela napasnya. "Ah! Rain in campus." gumamnya kemudian melirik ke arahku.
Aku tersenyum, lalu berpura-pura membuang mata padahal sebenarnya ingin sekali menatap mata Nadya yang sipit itu.
"Mirip judul novel." ucapku, mencoba mengusir kecanggungan.
"Karya Cindy Pricilla?" tanya Nadya.
"Yap!" Aku mengangguk, kali ini menoleh ke arahnya. Mencoba berani meski dengan hati yang berdebar tak karuan. "Rain in Paris, kamu pernah baca?"
"Pernah dong, dan mungkin karna novel itu juga aku jadi suka lagu Air Supply yang judulnya Goodbye."
"Oh, ya?"
Nadya mengangguk.
"Lagu itu sebenernya udah lama banget."
"Aku tahu." ucap Nadya. "Kamu bisa nyanyi bagian reff-nya?"
Aku terdiam sejenak. "Nadya menatangku?" batinku. "Ah jangan salah Nad, dulu aku pernah ikut Idol meski nggak lolos pas audisi. Tapi kata Ahmad dani suara aku itu lumayan."
Lalu aku menatap hujan yang jatuh ke tanah, kemudian bernyanyi:
"You would never ask me why..
My heart is so disguised..
I just can't live a lie anymore..
I would rather hurt myself..
Than to ever make you cry..
There's nothing left to say, but goodbye.."
Nadya bengong, menatapku dengan tatapan kosong. Tak lama ia bertepuk tangan. "Jadi selain penulis, kamu juga punya suara sebelas dua belas sama kayak Ari laso?" decaknya kagum.
Sejenak wajahku memerah. Bagaimana tidak, aku dipuji oleh orang yang aku suka. Meskipun entah itu benar atau malah bohong belaka. Tapi yang jelas aku senang sekali.
"Kamu bisa aja, tapi masih bagusan Ari laso deh kayaknya." ucapku.
"Ya seenggaknya mirip-mirip dikit lah." Dia lalu tertawa, diikuti aku yang juga tertawa.
Finally, aku berhasil membuat Nadya terpukau sekaligus tertawa. Entah kenapa aku merasa sangat nyaman sekali, hingga tak terasa 40 menit sudah kita lalui waktu berdua. Sementara hari semakin gelap.
Aku menghela napasku dalam. "Kamu suka hujan?" tanyaku.
"Hujan?"
"Iya, hujan." aku lalu bangkit mendekat ke ujung dan merasakan tetesan hujan yang jatuh dengan tanganku.
"Suka." tak lama Nadya menyusulku.
"Kalau gitu gimana kalau kita terobos hujan?"
Nadya mendongak ke atas memastikan apakah hujan akan mungkin bisa diterobos.
"Kamu yakin?" tanyanya.
"Aku bawa mantel kok dimotor."
"Tapi aku nggak yakin kita bisa pulang tanpa basah kuyup."
"Aku bawa dua mantel."
Nadya terdiam.
"Atau kita nunggu disini sampe hujan reda?"
Nadya masih terdiam. Ia lalu melirik ke arah jam ditangannya.
"Sebenernya aku punya janji sama temen, dan dia mau jemput aku kesini." ucap Nadya. "Tapi mungkin dia lagi neduh sekarang, kita tetep disini aja sampe dia dateng, kamu mau kan nemenin aku?"
Aku menoleh ke arahnya. "Kamu serius?"
Nadya mengangguk mantap.
Ah! Justru itu yang aku mau, bisa berlama-lama disini. Apalagi ditemani kamu. Jangankan harus menemani kamu buat saat ini, buat besok dan sampai kapanpun aku mau.
"Oh, ya. Val." seru Nadya. "Kamu suka hujan?"
Aku melirik ke arahnya lalu tersenyum mendengar ucapannya.
Aku mengangguk. "Suka."
"Kenapa?" tanya Nadya.
"Karena hadirnya mampu menjelaskan bahwa ada yang sejuk setelah gersang."
Nadya tersenyum. "Lalu, sastra?" kali ini ia menatapku dengan tatapan yang tak biasa, dan aku tak bisa menutupi hati untuk tidak membalas tatapannya. Yes! Akhirnya aku tak canggung lagi.
Aku menghela napas dalam. "Terkadang aku berpikir jika aku diciptakan dari kata yang sengaja tuhan pecah-pecah, kemudian aku harus menyusunnya, menyatukannya untuk menjadi satu kalimat yang indah."
"Maksudnya?" tanya Nadya penasaran.
"Ya kaya, cinta-kamu-aku."
"Aku cinta kamu."
"Aku juga!"
Deg!
Nadya tersenyum malu, lalu membuang tatapannya.
"Maksudnya gini lho, semuanya punya proses dan kenapa aku bisa begitu mencintai sastra? Karna ada proses yang panjang banget. Kaya satu kalimat yang kadang harus disusun dulu biar terlihat indah, dan aku nemuin kalimat itu."
Yes! Hatiku bersorak. Apalagi ketika melihat wajah Nadya yang kini memerah.
Sebenarnya tidak ada niatan untuk gombal, tapi terkadang waktu malah mendorong kita untuk melakukan hal yang frontal.
Nadya menghela napasnya. "Kalau begitu, berarti hidup ini kaya puisi." gumamnya.
Aku menatapnya dalam. Bahkan kali ini aku sudah berani menatap wanita. Aku sudah benar-benar tak canggung lagi.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Karna klimaks nggak harus di akhir. Nikmati aja setiap alurnya, dan kamu nanti akan tahu endingnya gimana."
Aku tersenyum. "Jadi kamu memilih sastra tanpa tujuan?"
Nadya menoleh ke arahku. "Aku bukan pemimpi kayak mereka, hanya penikmat hidup yang percaya setiap langkah sudah di rencanakan sama yang diatas."
"Termasuk pertemuan kita ini?"
Deg!
Nadya terdiam.
Hening, sampai pada akhirnya. Sebuah mobil toyota rush berhenti tepat di depan kita. Lalu keluarlah seorang laki-laki dengan payung putih dan berjalan ke arah kita berdiri.
Aku melirik ke arah jam ditanganku, ternyata sudah satu jam kita disini dan kini tiba saatnya kita harus berpisah. Entah kenapa waktu terasa cepat dan ada sesuatu yang membuatku sedih. Aku tahu, meskipun ada hari esok tapi belum pasti kita bisa berbincang sedekat ini.
"Kau sudah menungguku lama?" tanya laki-laki itu.
Nadya mengangguk. "Kurang lebih satu jam."
"Oh, ya?" ucap lelaki itu kaget. "Maaf, tadi ada masalah kecil di kampus."
"Aku kira kau bawa motor."
"Tidak, sekali lagi maaf ya Nadya."
"Tidak apa-apa, untung ada Rival." ucap Nadya menoleh ke arahku. "Oh ya, Ndre. ini Rival." Ia lalu memperkenalkan ku dengan laki-laki itu.
"Syukurlah.. Oh, aku Andre." ucapnya mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya.
"Temannya Nadya?" tanya Andre.
Aku mengangguk. "Kau juga?"
"Aku?" Andre tersenyum. "Mungkin lebih tepatnya teman hati."
Deg!
Aku menoleh ke arah Nadya dengan alasan ingin tahu apa maksud yang dikatakan Andre, dan wanita itu malah tersenyum lalu mengangguk.
"Dia pacar aku, val." ucapnya.
Dan aku speechles!

- end -

Saturday 16 January 2016

Seikat Mawar


Aku menatapnya kagum. Dave, lelaki yang kukenal pendiam itu ternyata mahir memainkan sebuah lagu River flows in you. Jari-jarinya menari dengan lincah di atas tuts-tuts piano memainkan mahakarya dari sang pianist ternama, Yiruma. Disekelilingku juga ikut berdecak kagum.
Ini acara familly gathering dengan tema valentine night, dikantor. Semua pegawai membawa kekasih, istri dan anaknya. Penuh cinta dan kasih, namun yang tak habis ku pikir mengapa Pria berumur 30 tahun itu hanya membawa anak kecil saja? Jika iya itu anaknya, lantas mana ibunya? Ah! Sudahlah Rini, mengapa kau sibuk mengurusi oranglain sementara kau disini tak memiliki pasangan?
Huft! sebenarnya aku punya, namanya chandra, pacarku. tapi dia tak cocok untuk di ajak ke acara begini. Akupun sudah tahu dia pasti menolak. Lagian dia bukan tipikal pria romantis. Bahkan dia lebih sering mengajakku untuk menonton konser rock ketimbang nonton bioskop film drama dibioskop. Tapi tunggu, dimana Dave sekarang?
Aku mendongak mencari teman kerjaku itu, tidak terlalu dekat sih kita beda tempat. Aku di lantai dua, sementara dia di lantai lima. Jelas saja dia di tempatkan di lantai atas, dia manager. Tapi alasan mengapa aku bisa mengenalnya bukan hanya karna dia manager, melainkan waktu yang sering mempertemukan kita. Entah disaat meeting, atau makan siang di cafe dekat kantor. Itupun tak begitu dekat, namun dia mampu mencuri perhatian. Jujur aku salah satu yang mengagumi sosoknya.
Aku berjalan perlahan mencari Pria itu. Jelas ini tak sopan, mengikuti siapa yang tak ku kenal dekat. Tapi, ah sudahlah! Lanjutkan saja! batinku berteriak.
Aku melanjutkan langkah ke ruang restorasi dan hasilnya tak ada, ke lantai dansa sama saja, apa mungkin dia pulang? Sebenarnya tak begitu sulit mencari Dave, dia tinggi bahkan di antara pegawai yang lain.
Lalu entah kenapa langkah ini malah ingin mengajak keluar, dan aku tak mengerti ketika melihat mobil Dave melaju pelan meninggalkan kantor. Acara belum selesai dan dia sudah pergi begitu saja? Namun yang lebih tak mengerti mengapa aku malah ingin membuntutinya dari belakang?! Terlebih ketika ku dapati benar-benar tak ada wanita didalam mobil itu. Tak lama aku membuntutinya.
Pelan-pelan saja, aku tak ingin Dave tahu bahwa aku mengikutinya dari belakang. Tapi tiba-tiba hatiku malah berdetak kencang dan pikiranku melayang ke arah yang tak sepantasnya aku pikirkan. Apa mungkin Dave adalah penculik? Jangan-jangan anak itu. Aku benar-benar akan kecewa jika mengetahui diam-diam Dave berhati busuk. Tidak, tidak mungkin!
Namun Dave menghentikan mobilnya tepat di depan toko bunga. Aku ingin keluar ketika Dave masuk ke toko tersebut, namun tidak! Jika Dave tahu aku membuntutinya, mungkin ia akan marah! Lantas aku memutuskan untuk menunggunya saja.
Sekitar tiga puluh menit aku menunggu, pria itu keluar dengan membawa seikat mawar. Aku terdiam melihatnya, lebih ke arah terpesona sih. Ternyata dibalik sikap pendiam tersimpan jiwa yang begitu romantis. Tapi bunga itu untuk siapa? Istrinya? Aha, ternyata benar Dave bukan penculik! Syukurlah. Sorakku dalan hati.
Aku kembali mengikuti mobil alphard putih itu. Melaju dengan kecepatan sedang. Jakarta tak begitu ramai malam ini, kebetulan sedang berlangsung car free night juga. Sesekali aku menatap kesamping jendela, banyak orang yang berjalan berpasangan dan saling menggandengkan tangan. Terkadang hati kecilku iri pada mereka, mengapa Chandra begitu sulit untuk melakukan hal yang begitu sepele menurutku? Aku tak benar-benar mengerti sebenarnya, kenapa kita berbalik 180 drajat tak seperti mereka? Dan mengapa tak bisa untuk menyatukan kesamaan? Ah, Chandra-chandra aku tak tahu jika aku benar-benar lelah apakah siap jika harus meninggalkan kamu?
Sementara jauh dari hal itu, Dave berhasil membuatku pusing, ia berputar-putar entah hendak kemana. Terakhir aku tahu ini bukan jalan menuju rumahnya, jelas saja Dion sahabatnya memberi tahuku bahwa Dave tinggal di apartemen elit kawasan Jakarta pusat.Tapi sayang, aku tak berani menanyakan status pria itu. Setidaknya aku harus tampil mahal meski sebenarnya mengagumi pria berdarah indo-german tersebut.
Aku melihat Dave memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Sekali lagi aku dibuat keheranan oleh Dave. Ini bukan sembarang rumah sakit, apa mungkin istri Dave adalah perawat atau dokter disini? Aku menghela napas dan memutuskan untuk berbalik arah ketika melihat Dave menuntun seorang anak kecil masuk ke dalam rumah sakit dengan membawa seikat mawar ditangannya.
Tapi rasa penasaran kembali menyelimuti hati ini, dan mampu mengalahkan tubuh yang sebenarnya malu jika harus melanjutkan membuntuti Dave dan anak kecil itu.
Kemudian tak lama aku berjalan masuk dan menyusuri setiap koridor. Sebenarnya agak risih berjalan disini, selain takut ketahuan, pasien disinipun benar-benar membuat aku takut.
Hingga tiba kala aku mendapati Dave dan anak kecil itu berbicara dengan dokter cantik, tinggi, dan berkacamata. Terlihat asyik mungkin obrolan mereka lebih dalam.
Aku meyakininya dialah Istri dari Dave, dan Ibu dari anak kecil yang dibawa pria itu.
Kemudian aku membalikan badan, dan berjalan pelan membelok arah. Tapi tiba-tiba dokter yang tadi sempat berbincang dengan Dave malah menyusul langkahku dan membuatku kembali bertanya-tanya.
Aku membelokkan badanku lagi, namun tak mendapati Dave dan anak kecil yang dibawanya.
Aku lari, hingga benar-benar membuat kebisingan. Kembali menyusuri koridor-koridor hingga terhenti tepat di depan jalan buntu, aku melihat pria itu bersama anak kecil.
Dave, Menyodorkan seikat mawar kepada wanita yang diam saja seperti patung. Tak terasa langkahku sedikit demi sedikit maju.
Aku melihat ada ketulusan di moment itu. Dave duduk berjongkok, dan anak kecil itu mencoba mengelus tangan wanita didepannya.
Yang membuatku lebih kaget, mereka dibatasi jeruji besi yang berdiri kokoh dan di gembok.
Aku menghentikan langkah tak jauh dari mereka.
"Ini mama!" ucap Dave.
Mama? gumamku.
"Mama kenapa dikunci, pa?" ucap anak kecil itu. "Mama nggak nakalkan?"
Dave tersenyum dan mengelus rambut anaknya. "Mama sakit, nanti kalo sembuh pulang." jawab Dave.
"Tapi kasian mama sendiri disini, pa. Juna mau masuk, Pa!"
Dave tersenyum lagi, kemudian memeluknya.
"Nanti juga mama pulang, kalo udah sembuh. Juna sama papa aja, mama butuh istirahat."
Aku terpatung, lalu menoleh ke kiri, dan kekanan. Aku menunduk, ini rumah sakit jiwa. Dan kamu tahu? Wanita di depan itu adalah istri dari Dave, sekaligus ibu dari anak kecil yang dibawa Dave.
Mataku berkaca-kaca, hingga tak terasa ujung mata ini mulai basah menyaksikan betapa sedihnya berada diposisi mereka. Meski pada kenyataannya wanita didepan itu sama sekali tak bersuara, atau bergerak sekalipun.
Aku mengusap airmataku. Dan berjalan mundur.
Namun Dave menyadari langkahku, ia menatapku dan aku gemetar takut. Tak lama Dave bangkit dan berjalan ke arahku. Aku kembali terpatung.
Dave tersenyum. "Sekarang kau sudah tahu statusku?" tanyanya.
Aku mengangguk lemah.
"Dia istriku, terkena depresi berat pasca melahirkan."
"Maaf!" ucapku tertunduk. "Seharusnya aku tak membuntutimu."
"Tak apa, semoga kau banyak belajar saja setelah ini."
Aku mendongak mencoba menatapnya. Darinya, jelas saja aku benar-benar belajar banyak bahwa cinta tak perlu seseorang yang sempurna.
Bahkan ketika ia benar-benar mati, cinta tak boleh ikut mati bersamanya.
Aku lalu tersadar akan Chandra, aku lebih sering membandingkan dia dengan yang lain. Sampai lupa bahwa setiap orang memiliki cara berbeda untuk menciptakan cinta.
Aku mengambil handphoneku disaku celana, dan menelpon Chandra kekasihku.
Lama, aku menunggunya lama. Hingga ketika Chandra mengangkat telponnya, aku benar-benar merasa senang. Jujur, belum pernah aku sesenang ini.
"Hallo.."
"Iya, hallo?"
"Chand?"
"Iya, Rin. Ada apa?"
"I love you."
"Hah?"
"I love you!"
"...."
Tut tut tut..
Telponku terputus, tanpa tahu apa jawaban dari Chandra.
Sial! pekikku. Ternyata pulsaku habis!

-end-

Saturday 9 January 2016

Diary Backpakers














Kita hidup di zaman dimana kaki menjadi object kamera, atau kertas bertuliskan salam dari ketinggian beribu-ribu meter dibawah permukaan laut.
Kita bahagia ketika mendapatkan ribuat like, dan commentar dari milyaran orang yang memuji atas background yang begitu bagus. Meskipun tak jarang akhirnya ada yang gagal, bahkan sampai meninggal.
Itu trend, dimana kita akan puas ketika berhasil menjadi pusat perhatian. Ketika kita berhasil membuat banyak orang iri, meski pada akhirnya akan timbul pribadi sombong dan kecanduan ingin selalu menjadi yang terdepan.
Sampai lupa bahwa apa yang dilakukan saat ini bisa saja menjadi akhir dari segalanya, atau berdampak negatif kepada alam yang sering kita dustai.
Terlebih kepada mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri ketimbang makhluk disekitar seperti halnya tumbuhan, hewan, dan makhluk astral yang juga butuh hidup layaknya manusia.
Sehingga kita keasyikan dan lupa bagaimana sulitnya merawat ketimbang merusak.
Ibaratnya kamu punya anak, lalu ada seseorang yang mencubitnya keras hingga ia memar apakah kamu akan diam saja?
Hentikan ulah kekinianmu sebelum semuanya terlambat, mengexplore boleh tapi alangkah indahnya jika sembari menjaga.

Salam dariku, yang juga gemar mengelilingi dunia.

Monday 4 January 2016

Sandiwara cinta


"Untuk apa kau ingin menemuiku disini?"
Alex tersenyum, ia lalu berjalan mendekat ke arah Dino.
"Untuk membunuhmu." ucapnya.
Hembusan angin membuat suasana seakan mencekang.
Dino benar-benar tak mengerti, ia menatap Alex aneh.
"Kau bercanda?" tanyanya.
Lalu Alex mengeluarkan pistol disaku celananya. Dino bergetar dan berjalan mundur.
"Untuk apa aku bercanda?"
"A-Alex!"
Dor!!
Dengan cepat pistol itu berhasil menembak sasaran, tepat di dahi Dino.
Tak lama lelaki itu tergeletak tak berdaya, mati seketika.
Alex tertunduk, Ia menghela napas dan menjatuhkan pistolnya. Kemudian berjalan menuju ujung gedung.
Dan melompat.

****

Kebohongan itu semakin jelas terlihat ketika aku membuntutinya dari belakang. Namun entah kenapa aku hanya bisa diam, bahkan malah terlihat santai ketika ia menggandeng tangan lelaki itu.
Bukan, bukan begitu. Aku hanya menutupi dan tak ingin semuanya runyam. Aku begitu sayang akan ibu dan mertuaku. Aku sayang pada Nabila, anakku.
Ketika pagi datang menggantikan malam, seperti biasa di ruang makan hanya ada aku, Nabila, juga Alex. Tanpa Mischa.
Aku tahu apa alasannya, tak jauh dari meeting di luar kota. Itu hanya angin yang selalu ku amini.
Nabila putri semata wayangku yang kini beranjak menjadi dewasa sedikit demi sedikit mulai mencurigai ibunya, jelas lambat laun dia pasti akan bertanya. Seperti pagi ini.
"Pa!" Seru Nabila.
Aku, dan Alex menoleh ke arahnya.
"Mama nggak makan bareng lagi?" tanyanya lantang.
Aku terdiam.
Alex menatapku cemas, kemudian ia mencoba membantu untuk menjawab.
"Kau sudah telpon dia?"
Nabila menoleh ke arah Alex dan mengangguk.
"Jawabannya?"
"Dia bilang meeting di Bali." jawab gadis smp itu sembari cemberut.
"Jadi untuk apa bertanya lagi?" ucap Alex manja berusaha mencairkan suasana.
Nabila terdiam. Aku tahu, bukan jawaban dari Alex yang ia tunggu. Sejauh ini aku tak berani banyak bicara, aku takut apa yang ku ucap salah dan menyakiti hati putri kecilku.
Aku menghela napas dalam. Menatap lurus ke arah Nabila, dan tersenyum.
"Nabila, ayo habiskan sarapanmu. Ini sudah jam berapa?" ucapku.
Nabila mengangguk, masih dengan raut wajah yang tertekuk.
Ah, entah sampai kapan Mischa akan menghentikan permainannya. Aku mungkin suami terbodoh yang pernah ada di dunia. Membiarkan istri menduduki tingkat di atas suami.
Aku hanya mengikuti skenario tuhan. Aku tahu itu memang terlalu sakit, tapi ini demi kebaikan semuanya.
"Kenapa tidak kau sudahi saja?" tukas Alex.
Aku menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke arah jalan.
Aku menghela napas panjang. "Semuanya tak semudah apa yang kau kira."
"Tapi apakah kau sadar sudah berapa banyak dosa yang kau timbun? Kau tahu, diam-diam kau menyakiti semuanya, ibumu, mertua, dan Nabila."
Tapi ini demi kebaikan semuanya! teriakku dalam hati.
"Semakin bertambahnya usia, Nabila akan semakin sering mencari tahu mengapa kau terlihat jarang tidur bersama istrimu." lanjut Alex.
"Aku sudah tahu dan pikirkan itu."
"Jadi?"
Aku menoleh ke arah Alex, adik iparku yang juga menjadi manager di satu perusahaan yang ku miliki itu.
"Aku menikmati sandiwara ini." tegasku bohong.
Alex terdiam, ia tertunduk. Lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lupa ia juga mematikan ac dan membuka jendela mobil.
"Sudah berapa tahun kau menikah dengan Mischa?"
"Sudah lama."
Alex menyunggingkan bibirnya. "Mungkin jika aku tak memulainya pernikahanmu akan baik-baik saja."
"Kau tak salah."
"Tidak." Alex menggeleng. "Aku datang ketika pernikahanmu menginjak 4 tahun. Ketika Nabila masih bayi."
"Sudah, Alex."
"Aku pulang ke Indonesia setelah berhasil menyelesaikan study di perth." lanjut Alex.
"Hentikan!"
"Aku menjadi dalang di antara kalian, aku yang diam-diam membuatmu jatuh cinta kepadaku disaat kau benar-benar merasa tak dihargai oleh wanita. Aku tahu aku salah. Aku yang merusak hubunganmu. Aku tak normal." Alex tersenyum.
Aku menoleh ke arahnya. "Kau tak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Jika Mischa jujur padaku masih mencintai lelaki itu mungkin aku tak akan menikah dengannya, atau malah terjerumus kedalam skenario ini."
"Lantas mengapa kau tak memutuskan berpisah dengannya sebelum Nabila sebesar ini?"
Aku menghela napas dalam. "Karna aku membutuhkan Mischa sebagai harta yang paling berharga. Kau tahu ibumu sudah banyak berjuang untuk mengangkat namaku hingga setinggi ini. Aku hanya anak miskin yang memiliki mimpi besar."
Alex menatapku dalam. Asap dari rokok itu mengepul-ngepul menunggu untuk di hisap.
"Hentikan saja sandiwara ini." tukasnya.
"Aku tak berani."
"Nabila lebih penting dari segalanya."
Aku menginjak rem dan menghentikan laju mobil. Sunyi.
Dug! Ku tabrakan kepala di atas stir mobil.
"Aku tak habis pikir mengapa harus ada di skenario sesulit ini?" tanyaku sembari memukul-mukul kepala. "Apa ini yang disebut sandiwara cinta?"
Alex menatapku dalam. Ia menepuk pundakku.
"Kau dan Mischa harus bahagia, demi Nabila."
Aku menoleh ke arahnya. Yang aku inginkan juga begitu. Aku mencintai mereka berdua. Hanya saja mengapa Mischa begitu pintar bermain cinta sehingga ia bisa membuat dua kisah di hati yang sama.
"Ayolah kita sudah kesiangan." ucapnya.
"Dino sebentar lagi pergi."
"....." Aku menatap Alex aneh.

-end-

Heart to hurt


Aku menikmati peran ini, bukan sebagai pemeran antagonis, atau pengemis cintanya Maurer. Hanya saja, aku terlanjur terjun pada jurang yang membuatku nyaman. Meski pada kenyataannya aku tak benar-benar bebas.
Awal mula kenal akan sosok lelaki itu, ketika Diana sahabatku mengenalkan dia saat kita pergi ke puncak beberapa bulan yang lalu. Entah siapa yang memulai. Memang benar apa kata orang, cinta mampu tumbuh kapan saja, tak kenal tempat tanpa tahu dia siapa dan dari ras mana. Aku sudah melawannya, melawan perasaan agar tak berharap lebih. Tapi itu semua jelas tak mudah, aku tak berhasil hingga pada akhirnya menahan sesak setiap hari. Tak logis memang, apalagi Diana adalah sahabatku.
Sampai beberapa bulan setelah pertemuan itu, semakin hari Maurer semakin mencuri perhatian. Hingga tiba saatnya ia benar-benar menyatakan cinta, aku kaget tapi bodohnya aku menerima begitu saja tanpa tahu bagaimana perasaan Diana jika ia mengetahui semua ini.
Siapa yang tak bisa terhipnotis akan laki-laki itu? Selain suaranya yang berat, tampan, dan tinggi, ia juga pintar dalam segala hal. Terlebih Maurer anak dari salah satu pengusaha besar di Indonesia.
Aku tak pernah memikirkan bagaimana jika Diana membenciku? Bahkan aku menikmati saat-saat Maurer membagi cintanya dikala kita jalan bertiga. Diana mungkin tak tahu saat ia menyenderkan kepala tangan kekasihnya menggenggam tanganku, atau ketika ia memeluk maurer didepannya lelaki itu mencium keningku. Lucu memang, tapi aku menikmatinya.
Namun, aku sadar. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti ia akan jatuh. Seperti halnya saat ini. Diana mengetahui ulahku dan Maurer. Dia datang ke rumah dengan bercucuran air mata. Aku yang sudah siap akan semua ulah yang aku buat, kini siap mempertanggung jawabkan semuanya.
"Kau mau teh?" tanyaku.
Diana mendongak, pipinya basah dan matanya sembab. Ia mengangguk.
"Teh manis?" tawarku.
Diana menyunggingkan bibirnya lalu menggeleng. "Teh pait."
Deg! Aku terdiam. Sejak kapan wanita itu menyukai sesuatu yang ia tak suka?
"Teh pait?" ulangku.
Diana mengangguk. "Aku sudah bosan dengan sesuatu yang hanya manis di awal."
Aku menatapnya tajam. Dia menyudutkan ku? tanyaku pada hati.
Lalu aku bangkit dan membuatkan wanita itu teh pait. Setelah selesai, aku menaruh teh itu tepat di depan Diana, sahabatku.
"Kau mungkin tak akan bisa menghabiskannya." ucapku.
Diana mendongak. "Kecuali jika kau meracuniku." Ia lalu menenggak teh itu tanpa meniupnya terlebih dahulu.
Aku menatapnya kasihan. Sebegitu marahnya kah ia kepadaku.
"Diana!"
Aku menyetopnya. Tanganku menghentikan ulahnya.
Namun Diana bersihkeras. Aku tahu semua itu ia lakukan karna terlalu marah.
"Diana!"
Diana tak memperdulikan.
"Diana hentikan!"
Tapi ketika aku mencoba menarik gelas itu, Diana dengan sengaja menjatuhkannya dan pecah tepat di kakiku.
Aku meringis menahan sakit, kakiku merah tersiram air panas, juga berdarah terkena pecahan gelas. Sedangkan Diana malah tertawa, aku menatapnya sinis.
"Itu belum seberapa ketika aku tahu bahwa kau diam-diam menusukku dari belakang." ketusnya.
"Sekarang kau sudah puas?"
"Belum."
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?"
"Untuk apa?" tanya Diana dengan tangan melipat didepan dada.
Aku terdiam, masih menahan sakit.
"Setelah aku membunuhmu apakah aku akan merasa lega?" tukasnya. "Tidak! Selama Maurer masih ada aku tak akan lega."
"Kalau begitu, bunuh saja Maurer juga."
Diana menyunggingkan bibirnya. "Pastilah dia akan mati."
Aku mendongak menatap Diana. "Aku yang salah, aku tahu bagaimana hatimu."
"Jelas saja kau yang salah, jika kau memang sahabatku tak mungkin kau merebut Maurer."
"Lalu kau mau apa?" Teriakku.
"Kau bunuh Maurer!"
Deg!
Aku menatap Diana. "Kau gila?"
"Kalian yang membuatku gila seperti ini!"
"Sadar, Diana!"
"Kau yang seharusnya sadar!" tukas Diana. "Kau yang memulai, kau juga yang harus mengakhiri."
Aku benar-benar tak habis pikir Diana akan semarah ini. Jika memang endingnya akan ada yang mati. Mungkin tak akan ku terima Maurer dulu. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan aku, aku tak tahu harus berbuat apa.
"Aku tak sanggup!"
"Baiklah kau yang mati!" Diana mengacungkan pistol tepat di dahiku.
Memang benar, setiap langkah tak akan menghianati hasilnya. Ini langkah yang harus aku ambil. Sesuatu sudah terjadi, Diana benar-benar marah. Jelas saja!
Aku berjalan menuju hotel Maurer. Dibelakangku Diana mengikuti. Aku menjadi budaknya. Mataku sembab dan berkantung. Semalam Diana berhasil menyiksaku. Aku benar-benar tertekan, aku tak pernah menyangka Diana akan bertingkah selayaknya binatang. Aku benar-benar menyesal.
"Ketika kau membuka pintu, kau langsung tembak dia." perintah Diana.
Ujung mataku meneteskan airmata. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Diana sahabatku mendadak berubah jadi hantu yang menakutkan. Bahkan untuk menolehnya pun aku tak sanggup.
Jika memang ini balasan atas ulahku selama ini, maka izinkan aku mengulang waktu kemarin. Aku benar-benar tak tahan bahkan tak kuat jika harus membunuh seseorang yang aku sayang.
Aku mengangkat tanganku, dengan pelan aku mengetuk pintu ruang hotel yang biasa Maurer tempati.
Perlahan pintu itu terbuka, aku bersiap-siap mengambil pistol disaku celana.
Diana sudah menunggu saat ini, detik-detik ketika aku membunuh Maurer. Dan ketika pintu itu benar-benar terbuka, aku mengangkat pistolku. Maurer terkaget dan mengangkat tangannya.
"Sekarang!" teriak Diana.
Dan..
Dorrrrr!
Aku menembakan senapan itu. Pelurunya aku yakin mengenai dahi target. Aku masih menutup mata.
Sampai ketika aku membukanya perlahan. Aku mendapati Diana terkapar tak berdaya.
Aku menjatuhkan pistol itu, dan terjatuh memeluk Diana.
Aku menangis histeris sembari berteriak memanggil nama sahabatku.
Maurer menatapku kasihan, ia lalu memelukku dari belakang dan berkata: "Diana mungkin kan baik-baik saja di surga."
Aku menoleh ke arahnya lalu teringat akan kejadian ketika Maurer menyatakan cintanya dulu.

"Diana gila." ucap Maurer.
"Maksudmu?"
"Kau sudah berapa lama berteman dengannya?"
"Dari Smp."
"Apa kau tak tahu siapa yang membunuh ayah dan ibunya dulu?"
Aku menggeleng. "Diana tak pernah menceritakannya."
"Kau ingat kejadian Robert?"
"Mantan dia sewaktu sma?"
Maurer mengangguk.
"Yang membunuh kedua orangtuanya adalah dia sendiri, dan robert juga ia bunuh karna tertangkap basah selingkuh."
Aku terenyak. "Kau serius?"
"Kau tahu aku tertekan setiap dia menginginkan sesuatu."
Aku terdiam tak mengerti.
"Dia mengancam akan membunuhku."
Lagi-lagi aku terenyak. Sejauh ini Diana tak pernah melakukan itu kepadaku. Dia memang keras, tapi aku benar-benar tak habis pikir jika ia memang begitu.
Sejauh kita bersahabat aku tak pernah melihat ke anehan yang terjadi pada sahabatku itu.
"Kau mungkin tak akan percaya."
Aku terdiam, terpatung.
"Kalau tak percaya, mari kita bermain dibelakang. Dan lihat endinya akan bagaimana."

-end-