Monday 4 January 2016

Sandiwara cinta


"Untuk apa kau ingin menemuiku disini?"
Alex tersenyum, ia lalu berjalan mendekat ke arah Dino.
"Untuk membunuhmu." ucapnya.
Hembusan angin membuat suasana seakan mencekang.
Dino benar-benar tak mengerti, ia menatap Alex aneh.
"Kau bercanda?" tanyanya.
Lalu Alex mengeluarkan pistol disaku celananya. Dino bergetar dan berjalan mundur.
"Untuk apa aku bercanda?"
"A-Alex!"
Dor!!
Dengan cepat pistol itu berhasil menembak sasaran, tepat di dahi Dino.
Tak lama lelaki itu tergeletak tak berdaya, mati seketika.
Alex tertunduk, Ia menghela napas dan menjatuhkan pistolnya. Kemudian berjalan menuju ujung gedung.
Dan melompat.

****

Kebohongan itu semakin jelas terlihat ketika aku membuntutinya dari belakang. Namun entah kenapa aku hanya bisa diam, bahkan malah terlihat santai ketika ia menggandeng tangan lelaki itu.
Bukan, bukan begitu. Aku hanya menutupi dan tak ingin semuanya runyam. Aku begitu sayang akan ibu dan mertuaku. Aku sayang pada Nabila, anakku.
Ketika pagi datang menggantikan malam, seperti biasa di ruang makan hanya ada aku, Nabila, juga Alex. Tanpa Mischa.
Aku tahu apa alasannya, tak jauh dari meeting di luar kota. Itu hanya angin yang selalu ku amini.
Nabila putri semata wayangku yang kini beranjak menjadi dewasa sedikit demi sedikit mulai mencurigai ibunya, jelas lambat laun dia pasti akan bertanya. Seperti pagi ini.
"Pa!" Seru Nabila.
Aku, dan Alex menoleh ke arahnya.
"Mama nggak makan bareng lagi?" tanyanya lantang.
Aku terdiam.
Alex menatapku cemas, kemudian ia mencoba membantu untuk menjawab.
"Kau sudah telpon dia?"
Nabila menoleh ke arah Alex dan mengangguk.
"Jawabannya?"
"Dia bilang meeting di Bali." jawab gadis smp itu sembari cemberut.
"Jadi untuk apa bertanya lagi?" ucap Alex manja berusaha mencairkan suasana.
Nabila terdiam. Aku tahu, bukan jawaban dari Alex yang ia tunggu. Sejauh ini aku tak berani banyak bicara, aku takut apa yang ku ucap salah dan menyakiti hati putri kecilku.
Aku menghela napas dalam. Menatap lurus ke arah Nabila, dan tersenyum.
"Nabila, ayo habiskan sarapanmu. Ini sudah jam berapa?" ucapku.
Nabila mengangguk, masih dengan raut wajah yang tertekuk.
Ah, entah sampai kapan Mischa akan menghentikan permainannya. Aku mungkin suami terbodoh yang pernah ada di dunia. Membiarkan istri menduduki tingkat di atas suami.
Aku hanya mengikuti skenario tuhan. Aku tahu itu memang terlalu sakit, tapi ini demi kebaikan semuanya.
"Kenapa tidak kau sudahi saja?" tukas Alex.
Aku menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke arah jalan.
Aku menghela napas panjang. "Semuanya tak semudah apa yang kau kira."
"Tapi apakah kau sadar sudah berapa banyak dosa yang kau timbun? Kau tahu, diam-diam kau menyakiti semuanya, ibumu, mertua, dan Nabila."
Tapi ini demi kebaikan semuanya! teriakku dalam hati.
"Semakin bertambahnya usia, Nabila akan semakin sering mencari tahu mengapa kau terlihat jarang tidur bersama istrimu." lanjut Alex.
"Aku sudah tahu dan pikirkan itu."
"Jadi?"
Aku menoleh ke arah Alex, adik iparku yang juga menjadi manager di satu perusahaan yang ku miliki itu.
"Aku menikmati sandiwara ini." tegasku bohong.
Alex terdiam, ia tertunduk. Lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lupa ia juga mematikan ac dan membuka jendela mobil.
"Sudah berapa tahun kau menikah dengan Mischa?"
"Sudah lama."
Alex menyunggingkan bibirnya. "Mungkin jika aku tak memulainya pernikahanmu akan baik-baik saja."
"Kau tak salah."
"Tidak." Alex menggeleng. "Aku datang ketika pernikahanmu menginjak 4 tahun. Ketika Nabila masih bayi."
"Sudah, Alex."
"Aku pulang ke Indonesia setelah berhasil menyelesaikan study di perth." lanjut Alex.
"Hentikan!"
"Aku menjadi dalang di antara kalian, aku yang diam-diam membuatmu jatuh cinta kepadaku disaat kau benar-benar merasa tak dihargai oleh wanita. Aku tahu aku salah. Aku yang merusak hubunganmu. Aku tak normal." Alex tersenyum.
Aku menoleh ke arahnya. "Kau tak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Jika Mischa jujur padaku masih mencintai lelaki itu mungkin aku tak akan menikah dengannya, atau malah terjerumus kedalam skenario ini."
"Lantas mengapa kau tak memutuskan berpisah dengannya sebelum Nabila sebesar ini?"
Aku menghela napas dalam. "Karna aku membutuhkan Mischa sebagai harta yang paling berharga. Kau tahu ibumu sudah banyak berjuang untuk mengangkat namaku hingga setinggi ini. Aku hanya anak miskin yang memiliki mimpi besar."
Alex menatapku dalam. Asap dari rokok itu mengepul-ngepul menunggu untuk di hisap.
"Hentikan saja sandiwara ini." tukasnya.
"Aku tak berani."
"Nabila lebih penting dari segalanya."
Aku menginjak rem dan menghentikan laju mobil. Sunyi.
Dug! Ku tabrakan kepala di atas stir mobil.
"Aku tak habis pikir mengapa harus ada di skenario sesulit ini?" tanyaku sembari memukul-mukul kepala. "Apa ini yang disebut sandiwara cinta?"
Alex menatapku dalam. Ia menepuk pundakku.
"Kau dan Mischa harus bahagia, demi Nabila."
Aku menoleh ke arahnya. Yang aku inginkan juga begitu. Aku mencintai mereka berdua. Hanya saja mengapa Mischa begitu pintar bermain cinta sehingga ia bisa membuat dua kisah di hati yang sama.
"Ayolah kita sudah kesiangan." ucapnya.
"Dino sebentar lagi pergi."
"....." Aku menatap Alex aneh.

-end-

No comments:

Post a Comment