Saturday 16 January 2016

Seikat Mawar


Aku menatapnya kagum. Dave, lelaki yang kukenal pendiam itu ternyata mahir memainkan sebuah lagu River flows in you. Jari-jarinya menari dengan lincah di atas tuts-tuts piano memainkan mahakarya dari sang pianist ternama, Yiruma. Disekelilingku juga ikut berdecak kagum.
Ini acara familly gathering dengan tema valentine night, dikantor. Semua pegawai membawa kekasih, istri dan anaknya. Penuh cinta dan kasih, namun yang tak habis ku pikir mengapa Pria berumur 30 tahun itu hanya membawa anak kecil saja? Jika iya itu anaknya, lantas mana ibunya? Ah! Sudahlah Rini, mengapa kau sibuk mengurusi oranglain sementara kau disini tak memiliki pasangan?
Huft! sebenarnya aku punya, namanya chandra, pacarku. tapi dia tak cocok untuk di ajak ke acara begini. Akupun sudah tahu dia pasti menolak. Lagian dia bukan tipikal pria romantis. Bahkan dia lebih sering mengajakku untuk menonton konser rock ketimbang nonton bioskop film drama dibioskop. Tapi tunggu, dimana Dave sekarang?
Aku mendongak mencari teman kerjaku itu, tidak terlalu dekat sih kita beda tempat. Aku di lantai dua, sementara dia di lantai lima. Jelas saja dia di tempatkan di lantai atas, dia manager. Tapi alasan mengapa aku bisa mengenalnya bukan hanya karna dia manager, melainkan waktu yang sering mempertemukan kita. Entah disaat meeting, atau makan siang di cafe dekat kantor. Itupun tak begitu dekat, namun dia mampu mencuri perhatian. Jujur aku salah satu yang mengagumi sosoknya.
Aku berjalan perlahan mencari Pria itu. Jelas ini tak sopan, mengikuti siapa yang tak ku kenal dekat. Tapi, ah sudahlah! Lanjutkan saja! batinku berteriak.
Aku melanjutkan langkah ke ruang restorasi dan hasilnya tak ada, ke lantai dansa sama saja, apa mungkin dia pulang? Sebenarnya tak begitu sulit mencari Dave, dia tinggi bahkan di antara pegawai yang lain.
Lalu entah kenapa langkah ini malah ingin mengajak keluar, dan aku tak mengerti ketika melihat mobil Dave melaju pelan meninggalkan kantor. Acara belum selesai dan dia sudah pergi begitu saja? Namun yang lebih tak mengerti mengapa aku malah ingin membuntutinya dari belakang?! Terlebih ketika ku dapati benar-benar tak ada wanita didalam mobil itu. Tak lama aku membuntutinya.
Pelan-pelan saja, aku tak ingin Dave tahu bahwa aku mengikutinya dari belakang. Tapi tiba-tiba hatiku malah berdetak kencang dan pikiranku melayang ke arah yang tak sepantasnya aku pikirkan. Apa mungkin Dave adalah penculik? Jangan-jangan anak itu. Aku benar-benar akan kecewa jika mengetahui diam-diam Dave berhati busuk. Tidak, tidak mungkin!
Namun Dave menghentikan mobilnya tepat di depan toko bunga. Aku ingin keluar ketika Dave masuk ke toko tersebut, namun tidak! Jika Dave tahu aku membuntutinya, mungkin ia akan marah! Lantas aku memutuskan untuk menunggunya saja.
Sekitar tiga puluh menit aku menunggu, pria itu keluar dengan membawa seikat mawar. Aku terdiam melihatnya, lebih ke arah terpesona sih. Ternyata dibalik sikap pendiam tersimpan jiwa yang begitu romantis. Tapi bunga itu untuk siapa? Istrinya? Aha, ternyata benar Dave bukan penculik! Syukurlah. Sorakku dalan hati.
Aku kembali mengikuti mobil alphard putih itu. Melaju dengan kecepatan sedang. Jakarta tak begitu ramai malam ini, kebetulan sedang berlangsung car free night juga. Sesekali aku menatap kesamping jendela, banyak orang yang berjalan berpasangan dan saling menggandengkan tangan. Terkadang hati kecilku iri pada mereka, mengapa Chandra begitu sulit untuk melakukan hal yang begitu sepele menurutku? Aku tak benar-benar mengerti sebenarnya, kenapa kita berbalik 180 drajat tak seperti mereka? Dan mengapa tak bisa untuk menyatukan kesamaan? Ah, Chandra-chandra aku tak tahu jika aku benar-benar lelah apakah siap jika harus meninggalkan kamu?
Sementara jauh dari hal itu, Dave berhasil membuatku pusing, ia berputar-putar entah hendak kemana. Terakhir aku tahu ini bukan jalan menuju rumahnya, jelas saja Dion sahabatnya memberi tahuku bahwa Dave tinggal di apartemen elit kawasan Jakarta pusat.Tapi sayang, aku tak berani menanyakan status pria itu. Setidaknya aku harus tampil mahal meski sebenarnya mengagumi pria berdarah indo-german tersebut.
Aku melihat Dave memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Sekali lagi aku dibuat keheranan oleh Dave. Ini bukan sembarang rumah sakit, apa mungkin istri Dave adalah perawat atau dokter disini? Aku menghela napas dan memutuskan untuk berbalik arah ketika melihat Dave menuntun seorang anak kecil masuk ke dalam rumah sakit dengan membawa seikat mawar ditangannya.
Tapi rasa penasaran kembali menyelimuti hati ini, dan mampu mengalahkan tubuh yang sebenarnya malu jika harus melanjutkan membuntuti Dave dan anak kecil itu.
Kemudian tak lama aku berjalan masuk dan menyusuri setiap koridor. Sebenarnya agak risih berjalan disini, selain takut ketahuan, pasien disinipun benar-benar membuat aku takut.
Hingga tiba kala aku mendapati Dave dan anak kecil itu berbicara dengan dokter cantik, tinggi, dan berkacamata. Terlihat asyik mungkin obrolan mereka lebih dalam.
Aku meyakininya dialah Istri dari Dave, dan Ibu dari anak kecil yang dibawa pria itu.
Kemudian aku membalikan badan, dan berjalan pelan membelok arah. Tapi tiba-tiba dokter yang tadi sempat berbincang dengan Dave malah menyusul langkahku dan membuatku kembali bertanya-tanya.
Aku membelokkan badanku lagi, namun tak mendapati Dave dan anak kecil yang dibawanya.
Aku lari, hingga benar-benar membuat kebisingan. Kembali menyusuri koridor-koridor hingga terhenti tepat di depan jalan buntu, aku melihat pria itu bersama anak kecil.
Dave, Menyodorkan seikat mawar kepada wanita yang diam saja seperti patung. Tak terasa langkahku sedikit demi sedikit maju.
Aku melihat ada ketulusan di moment itu. Dave duduk berjongkok, dan anak kecil itu mencoba mengelus tangan wanita didepannya.
Yang membuatku lebih kaget, mereka dibatasi jeruji besi yang berdiri kokoh dan di gembok.
Aku menghentikan langkah tak jauh dari mereka.
"Ini mama!" ucap Dave.
Mama? gumamku.
"Mama kenapa dikunci, pa?" ucap anak kecil itu. "Mama nggak nakalkan?"
Dave tersenyum dan mengelus rambut anaknya. "Mama sakit, nanti kalo sembuh pulang." jawab Dave.
"Tapi kasian mama sendiri disini, pa. Juna mau masuk, Pa!"
Dave tersenyum lagi, kemudian memeluknya.
"Nanti juga mama pulang, kalo udah sembuh. Juna sama papa aja, mama butuh istirahat."
Aku terpatung, lalu menoleh ke kiri, dan kekanan. Aku menunduk, ini rumah sakit jiwa. Dan kamu tahu? Wanita di depan itu adalah istri dari Dave, sekaligus ibu dari anak kecil yang dibawa Dave.
Mataku berkaca-kaca, hingga tak terasa ujung mata ini mulai basah menyaksikan betapa sedihnya berada diposisi mereka. Meski pada kenyataannya wanita didepan itu sama sekali tak bersuara, atau bergerak sekalipun.
Aku mengusap airmataku. Dan berjalan mundur.
Namun Dave menyadari langkahku, ia menatapku dan aku gemetar takut. Tak lama Dave bangkit dan berjalan ke arahku. Aku kembali terpatung.
Dave tersenyum. "Sekarang kau sudah tahu statusku?" tanyanya.
Aku mengangguk lemah.
"Dia istriku, terkena depresi berat pasca melahirkan."
"Maaf!" ucapku tertunduk. "Seharusnya aku tak membuntutimu."
"Tak apa, semoga kau banyak belajar saja setelah ini."
Aku mendongak mencoba menatapnya. Darinya, jelas saja aku benar-benar belajar banyak bahwa cinta tak perlu seseorang yang sempurna.
Bahkan ketika ia benar-benar mati, cinta tak boleh ikut mati bersamanya.
Aku lalu tersadar akan Chandra, aku lebih sering membandingkan dia dengan yang lain. Sampai lupa bahwa setiap orang memiliki cara berbeda untuk menciptakan cinta.
Aku mengambil handphoneku disaku celana, dan menelpon Chandra kekasihku.
Lama, aku menunggunya lama. Hingga ketika Chandra mengangkat telponnya, aku benar-benar merasa senang. Jujur, belum pernah aku sesenang ini.
"Hallo.."
"Iya, hallo?"
"Chand?"
"Iya, Rin. Ada apa?"
"I love you."
"Hah?"
"I love you!"
"...."
Tut tut tut..
Telponku terputus, tanpa tahu apa jawaban dari Chandra.
Sial! pekikku. Ternyata pulsaku habis!

-end-

Saturday 9 January 2016

Diary Backpakers














Kita hidup di zaman dimana kaki menjadi object kamera, atau kertas bertuliskan salam dari ketinggian beribu-ribu meter dibawah permukaan laut.
Kita bahagia ketika mendapatkan ribuat like, dan commentar dari milyaran orang yang memuji atas background yang begitu bagus. Meskipun tak jarang akhirnya ada yang gagal, bahkan sampai meninggal.
Itu trend, dimana kita akan puas ketika berhasil menjadi pusat perhatian. Ketika kita berhasil membuat banyak orang iri, meski pada akhirnya akan timbul pribadi sombong dan kecanduan ingin selalu menjadi yang terdepan.
Sampai lupa bahwa apa yang dilakukan saat ini bisa saja menjadi akhir dari segalanya, atau berdampak negatif kepada alam yang sering kita dustai.
Terlebih kepada mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri ketimbang makhluk disekitar seperti halnya tumbuhan, hewan, dan makhluk astral yang juga butuh hidup layaknya manusia.
Sehingga kita keasyikan dan lupa bagaimana sulitnya merawat ketimbang merusak.
Ibaratnya kamu punya anak, lalu ada seseorang yang mencubitnya keras hingga ia memar apakah kamu akan diam saja?
Hentikan ulah kekinianmu sebelum semuanya terlambat, mengexplore boleh tapi alangkah indahnya jika sembari menjaga.

Salam dariku, yang juga gemar mengelilingi dunia.

Monday 4 January 2016

Sandiwara cinta


"Untuk apa kau ingin menemuiku disini?"
Alex tersenyum, ia lalu berjalan mendekat ke arah Dino.
"Untuk membunuhmu." ucapnya.
Hembusan angin membuat suasana seakan mencekang.
Dino benar-benar tak mengerti, ia menatap Alex aneh.
"Kau bercanda?" tanyanya.
Lalu Alex mengeluarkan pistol disaku celananya. Dino bergetar dan berjalan mundur.
"Untuk apa aku bercanda?"
"A-Alex!"
Dor!!
Dengan cepat pistol itu berhasil menembak sasaran, tepat di dahi Dino.
Tak lama lelaki itu tergeletak tak berdaya, mati seketika.
Alex tertunduk, Ia menghela napas dan menjatuhkan pistolnya. Kemudian berjalan menuju ujung gedung.
Dan melompat.

****

Kebohongan itu semakin jelas terlihat ketika aku membuntutinya dari belakang. Namun entah kenapa aku hanya bisa diam, bahkan malah terlihat santai ketika ia menggandeng tangan lelaki itu.
Bukan, bukan begitu. Aku hanya menutupi dan tak ingin semuanya runyam. Aku begitu sayang akan ibu dan mertuaku. Aku sayang pada Nabila, anakku.
Ketika pagi datang menggantikan malam, seperti biasa di ruang makan hanya ada aku, Nabila, juga Alex. Tanpa Mischa.
Aku tahu apa alasannya, tak jauh dari meeting di luar kota. Itu hanya angin yang selalu ku amini.
Nabila putri semata wayangku yang kini beranjak menjadi dewasa sedikit demi sedikit mulai mencurigai ibunya, jelas lambat laun dia pasti akan bertanya. Seperti pagi ini.
"Pa!" Seru Nabila.
Aku, dan Alex menoleh ke arahnya.
"Mama nggak makan bareng lagi?" tanyanya lantang.
Aku terdiam.
Alex menatapku cemas, kemudian ia mencoba membantu untuk menjawab.
"Kau sudah telpon dia?"
Nabila menoleh ke arah Alex dan mengangguk.
"Jawabannya?"
"Dia bilang meeting di Bali." jawab gadis smp itu sembari cemberut.
"Jadi untuk apa bertanya lagi?" ucap Alex manja berusaha mencairkan suasana.
Nabila terdiam. Aku tahu, bukan jawaban dari Alex yang ia tunggu. Sejauh ini aku tak berani banyak bicara, aku takut apa yang ku ucap salah dan menyakiti hati putri kecilku.
Aku menghela napas dalam. Menatap lurus ke arah Nabila, dan tersenyum.
"Nabila, ayo habiskan sarapanmu. Ini sudah jam berapa?" ucapku.
Nabila mengangguk, masih dengan raut wajah yang tertekuk.
Ah, entah sampai kapan Mischa akan menghentikan permainannya. Aku mungkin suami terbodoh yang pernah ada di dunia. Membiarkan istri menduduki tingkat di atas suami.
Aku hanya mengikuti skenario tuhan. Aku tahu itu memang terlalu sakit, tapi ini demi kebaikan semuanya.
"Kenapa tidak kau sudahi saja?" tukas Alex.
Aku menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke arah jalan.
Aku menghela napas panjang. "Semuanya tak semudah apa yang kau kira."
"Tapi apakah kau sadar sudah berapa banyak dosa yang kau timbun? Kau tahu, diam-diam kau menyakiti semuanya, ibumu, mertua, dan Nabila."
Tapi ini demi kebaikan semuanya! teriakku dalam hati.
"Semakin bertambahnya usia, Nabila akan semakin sering mencari tahu mengapa kau terlihat jarang tidur bersama istrimu." lanjut Alex.
"Aku sudah tahu dan pikirkan itu."
"Jadi?"
Aku menoleh ke arah Alex, adik iparku yang juga menjadi manager di satu perusahaan yang ku miliki itu.
"Aku menikmati sandiwara ini." tegasku bohong.
Alex terdiam, ia tertunduk. Lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lupa ia juga mematikan ac dan membuka jendela mobil.
"Sudah berapa tahun kau menikah dengan Mischa?"
"Sudah lama."
Alex menyunggingkan bibirnya. "Mungkin jika aku tak memulainya pernikahanmu akan baik-baik saja."
"Kau tak salah."
"Tidak." Alex menggeleng. "Aku datang ketika pernikahanmu menginjak 4 tahun. Ketika Nabila masih bayi."
"Sudah, Alex."
"Aku pulang ke Indonesia setelah berhasil menyelesaikan study di perth." lanjut Alex.
"Hentikan!"
"Aku menjadi dalang di antara kalian, aku yang diam-diam membuatmu jatuh cinta kepadaku disaat kau benar-benar merasa tak dihargai oleh wanita. Aku tahu aku salah. Aku yang merusak hubunganmu. Aku tak normal." Alex tersenyum.
Aku menoleh ke arahnya. "Kau tak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Jika Mischa jujur padaku masih mencintai lelaki itu mungkin aku tak akan menikah dengannya, atau malah terjerumus kedalam skenario ini."
"Lantas mengapa kau tak memutuskan berpisah dengannya sebelum Nabila sebesar ini?"
Aku menghela napas dalam. "Karna aku membutuhkan Mischa sebagai harta yang paling berharga. Kau tahu ibumu sudah banyak berjuang untuk mengangkat namaku hingga setinggi ini. Aku hanya anak miskin yang memiliki mimpi besar."
Alex menatapku dalam. Asap dari rokok itu mengepul-ngepul menunggu untuk di hisap.
"Hentikan saja sandiwara ini." tukasnya.
"Aku tak berani."
"Nabila lebih penting dari segalanya."
Aku menginjak rem dan menghentikan laju mobil. Sunyi.
Dug! Ku tabrakan kepala di atas stir mobil.
"Aku tak habis pikir mengapa harus ada di skenario sesulit ini?" tanyaku sembari memukul-mukul kepala. "Apa ini yang disebut sandiwara cinta?"
Alex menatapku dalam. Ia menepuk pundakku.
"Kau dan Mischa harus bahagia, demi Nabila."
Aku menoleh ke arahnya. Yang aku inginkan juga begitu. Aku mencintai mereka berdua. Hanya saja mengapa Mischa begitu pintar bermain cinta sehingga ia bisa membuat dua kisah di hati yang sama.
"Ayolah kita sudah kesiangan." ucapnya.
"Dino sebentar lagi pergi."
"....." Aku menatap Alex aneh.

-end-

Heart to hurt


Aku menikmati peran ini, bukan sebagai pemeran antagonis, atau pengemis cintanya Maurer. Hanya saja, aku terlanjur terjun pada jurang yang membuatku nyaman. Meski pada kenyataannya aku tak benar-benar bebas.
Awal mula kenal akan sosok lelaki itu, ketika Diana sahabatku mengenalkan dia saat kita pergi ke puncak beberapa bulan yang lalu. Entah siapa yang memulai. Memang benar apa kata orang, cinta mampu tumbuh kapan saja, tak kenal tempat tanpa tahu dia siapa dan dari ras mana. Aku sudah melawannya, melawan perasaan agar tak berharap lebih. Tapi itu semua jelas tak mudah, aku tak berhasil hingga pada akhirnya menahan sesak setiap hari. Tak logis memang, apalagi Diana adalah sahabatku.
Sampai beberapa bulan setelah pertemuan itu, semakin hari Maurer semakin mencuri perhatian. Hingga tiba saatnya ia benar-benar menyatakan cinta, aku kaget tapi bodohnya aku menerima begitu saja tanpa tahu bagaimana perasaan Diana jika ia mengetahui semua ini.
Siapa yang tak bisa terhipnotis akan laki-laki itu? Selain suaranya yang berat, tampan, dan tinggi, ia juga pintar dalam segala hal. Terlebih Maurer anak dari salah satu pengusaha besar di Indonesia.
Aku tak pernah memikirkan bagaimana jika Diana membenciku? Bahkan aku menikmati saat-saat Maurer membagi cintanya dikala kita jalan bertiga. Diana mungkin tak tahu saat ia menyenderkan kepala tangan kekasihnya menggenggam tanganku, atau ketika ia memeluk maurer didepannya lelaki itu mencium keningku. Lucu memang, tapi aku menikmatinya.
Namun, aku sadar. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti ia akan jatuh. Seperti halnya saat ini. Diana mengetahui ulahku dan Maurer. Dia datang ke rumah dengan bercucuran air mata. Aku yang sudah siap akan semua ulah yang aku buat, kini siap mempertanggung jawabkan semuanya.
"Kau mau teh?" tanyaku.
Diana mendongak, pipinya basah dan matanya sembab. Ia mengangguk.
"Teh manis?" tawarku.
Diana menyunggingkan bibirnya lalu menggeleng. "Teh pait."
Deg! Aku terdiam. Sejak kapan wanita itu menyukai sesuatu yang ia tak suka?
"Teh pait?" ulangku.
Diana mengangguk. "Aku sudah bosan dengan sesuatu yang hanya manis di awal."
Aku menatapnya tajam. Dia menyudutkan ku? tanyaku pada hati.
Lalu aku bangkit dan membuatkan wanita itu teh pait. Setelah selesai, aku menaruh teh itu tepat di depan Diana, sahabatku.
"Kau mungkin tak akan bisa menghabiskannya." ucapku.
Diana mendongak. "Kecuali jika kau meracuniku." Ia lalu menenggak teh itu tanpa meniupnya terlebih dahulu.
Aku menatapnya kasihan. Sebegitu marahnya kah ia kepadaku.
"Diana!"
Aku menyetopnya. Tanganku menghentikan ulahnya.
Namun Diana bersihkeras. Aku tahu semua itu ia lakukan karna terlalu marah.
"Diana!"
Diana tak memperdulikan.
"Diana hentikan!"
Tapi ketika aku mencoba menarik gelas itu, Diana dengan sengaja menjatuhkannya dan pecah tepat di kakiku.
Aku meringis menahan sakit, kakiku merah tersiram air panas, juga berdarah terkena pecahan gelas. Sedangkan Diana malah tertawa, aku menatapnya sinis.
"Itu belum seberapa ketika aku tahu bahwa kau diam-diam menusukku dari belakang." ketusnya.
"Sekarang kau sudah puas?"
"Belum."
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?"
"Untuk apa?" tanya Diana dengan tangan melipat didepan dada.
Aku terdiam, masih menahan sakit.
"Setelah aku membunuhmu apakah aku akan merasa lega?" tukasnya. "Tidak! Selama Maurer masih ada aku tak akan lega."
"Kalau begitu, bunuh saja Maurer juga."
Diana menyunggingkan bibirnya. "Pastilah dia akan mati."
Aku mendongak menatap Diana. "Aku yang salah, aku tahu bagaimana hatimu."
"Jelas saja kau yang salah, jika kau memang sahabatku tak mungkin kau merebut Maurer."
"Lalu kau mau apa?" Teriakku.
"Kau bunuh Maurer!"
Deg!
Aku menatap Diana. "Kau gila?"
"Kalian yang membuatku gila seperti ini!"
"Sadar, Diana!"
"Kau yang seharusnya sadar!" tukas Diana. "Kau yang memulai, kau juga yang harus mengakhiri."
Aku benar-benar tak habis pikir Diana akan semarah ini. Jika memang endingnya akan ada yang mati. Mungkin tak akan ku terima Maurer dulu. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan aku, aku tak tahu harus berbuat apa.
"Aku tak sanggup!"
"Baiklah kau yang mati!" Diana mengacungkan pistol tepat di dahiku.
Memang benar, setiap langkah tak akan menghianati hasilnya. Ini langkah yang harus aku ambil. Sesuatu sudah terjadi, Diana benar-benar marah. Jelas saja!
Aku berjalan menuju hotel Maurer. Dibelakangku Diana mengikuti. Aku menjadi budaknya. Mataku sembab dan berkantung. Semalam Diana berhasil menyiksaku. Aku benar-benar tertekan, aku tak pernah menyangka Diana akan bertingkah selayaknya binatang. Aku benar-benar menyesal.
"Ketika kau membuka pintu, kau langsung tembak dia." perintah Diana.
Ujung mataku meneteskan airmata. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Diana sahabatku mendadak berubah jadi hantu yang menakutkan. Bahkan untuk menolehnya pun aku tak sanggup.
Jika memang ini balasan atas ulahku selama ini, maka izinkan aku mengulang waktu kemarin. Aku benar-benar tak tahan bahkan tak kuat jika harus membunuh seseorang yang aku sayang.
Aku mengangkat tanganku, dengan pelan aku mengetuk pintu ruang hotel yang biasa Maurer tempati.
Perlahan pintu itu terbuka, aku bersiap-siap mengambil pistol disaku celana.
Diana sudah menunggu saat ini, detik-detik ketika aku membunuh Maurer. Dan ketika pintu itu benar-benar terbuka, aku mengangkat pistolku. Maurer terkaget dan mengangkat tangannya.
"Sekarang!" teriak Diana.
Dan..
Dorrrrr!
Aku menembakan senapan itu. Pelurunya aku yakin mengenai dahi target. Aku masih menutup mata.
Sampai ketika aku membukanya perlahan. Aku mendapati Diana terkapar tak berdaya.
Aku menjatuhkan pistol itu, dan terjatuh memeluk Diana.
Aku menangis histeris sembari berteriak memanggil nama sahabatku.
Maurer menatapku kasihan, ia lalu memelukku dari belakang dan berkata: "Diana mungkin kan baik-baik saja di surga."
Aku menoleh ke arahnya lalu teringat akan kejadian ketika Maurer menyatakan cintanya dulu.

"Diana gila." ucap Maurer.
"Maksudmu?"
"Kau sudah berapa lama berteman dengannya?"
"Dari Smp."
"Apa kau tak tahu siapa yang membunuh ayah dan ibunya dulu?"
Aku menggeleng. "Diana tak pernah menceritakannya."
"Kau ingat kejadian Robert?"
"Mantan dia sewaktu sma?"
Maurer mengangguk.
"Yang membunuh kedua orangtuanya adalah dia sendiri, dan robert juga ia bunuh karna tertangkap basah selingkuh."
Aku terenyak. "Kau serius?"
"Kau tahu aku tertekan setiap dia menginginkan sesuatu."
Aku terdiam tak mengerti.
"Dia mengancam akan membunuhku."
Lagi-lagi aku terenyak. Sejauh ini Diana tak pernah melakukan itu kepadaku. Dia memang keras, tapi aku benar-benar tak habis pikir jika ia memang begitu.
Sejauh kita bersahabat aku tak pernah melihat ke anehan yang terjadi pada sahabatku itu.
"Kau mungkin tak akan percaya."
Aku terdiam, terpatung.
"Kalau tak percaya, mari kita bermain dibelakang. Dan lihat endinya akan bagaimana."

-end-