Monday 4 January 2016

Heart to hurt


Aku menikmati peran ini, bukan sebagai pemeran antagonis, atau pengemis cintanya Maurer. Hanya saja, aku terlanjur terjun pada jurang yang membuatku nyaman. Meski pada kenyataannya aku tak benar-benar bebas.
Awal mula kenal akan sosok lelaki itu, ketika Diana sahabatku mengenalkan dia saat kita pergi ke puncak beberapa bulan yang lalu. Entah siapa yang memulai. Memang benar apa kata orang, cinta mampu tumbuh kapan saja, tak kenal tempat tanpa tahu dia siapa dan dari ras mana. Aku sudah melawannya, melawan perasaan agar tak berharap lebih. Tapi itu semua jelas tak mudah, aku tak berhasil hingga pada akhirnya menahan sesak setiap hari. Tak logis memang, apalagi Diana adalah sahabatku.
Sampai beberapa bulan setelah pertemuan itu, semakin hari Maurer semakin mencuri perhatian. Hingga tiba saatnya ia benar-benar menyatakan cinta, aku kaget tapi bodohnya aku menerima begitu saja tanpa tahu bagaimana perasaan Diana jika ia mengetahui semua ini.
Siapa yang tak bisa terhipnotis akan laki-laki itu? Selain suaranya yang berat, tampan, dan tinggi, ia juga pintar dalam segala hal. Terlebih Maurer anak dari salah satu pengusaha besar di Indonesia.
Aku tak pernah memikirkan bagaimana jika Diana membenciku? Bahkan aku menikmati saat-saat Maurer membagi cintanya dikala kita jalan bertiga. Diana mungkin tak tahu saat ia menyenderkan kepala tangan kekasihnya menggenggam tanganku, atau ketika ia memeluk maurer didepannya lelaki itu mencium keningku. Lucu memang, tapi aku menikmatinya.
Namun, aku sadar. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti ia akan jatuh. Seperti halnya saat ini. Diana mengetahui ulahku dan Maurer. Dia datang ke rumah dengan bercucuran air mata. Aku yang sudah siap akan semua ulah yang aku buat, kini siap mempertanggung jawabkan semuanya.
"Kau mau teh?" tanyaku.
Diana mendongak, pipinya basah dan matanya sembab. Ia mengangguk.
"Teh manis?" tawarku.
Diana menyunggingkan bibirnya lalu menggeleng. "Teh pait."
Deg! Aku terdiam. Sejak kapan wanita itu menyukai sesuatu yang ia tak suka?
"Teh pait?" ulangku.
Diana mengangguk. "Aku sudah bosan dengan sesuatu yang hanya manis di awal."
Aku menatapnya tajam. Dia menyudutkan ku? tanyaku pada hati.
Lalu aku bangkit dan membuatkan wanita itu teh pait. Setelah selesai, aku menaruh teh itu tepat di depan Diana, sahabatku.
"Kau mungkin tak akan bisa menghabiskannya." ucapku.
Diana mendongak. "Kecuali jika kau meracuniku." Ia lalu menenggak teh itu tanpa meniupnya terlebih dahulu.
Aku menatapnya kasihan. Sebegitu marahnya kah ia kepadaku.
"Diana!"
Aku menyetopnya. Tanganku menghentikan ulahnya.
Namun Diana bersihkeras. Aku tahu semua itu ia lakukan karna terlalu marah.
"Diana!"
Diana tak memperdulikan.
"Diana hentikan!"
Tapi ketika aku mencoba menarik gelas itu, Diana dengan sengaja menjatuhkannya dan pecah tepat di kakiku.
Aku meringis menahan sakit, kakiku merah tersiram air panas, juga berdarah terkena pecahan gelas. Sedangkan Diana malah tertawa, aku menatapnya sinis.
"Itu belum seberapa ketika aku tahu bahwa kau diam-diam menusukku dari belakang." ketusnya.
"Sekarang kau sudah puas?"
"Belum."
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?"
"Untuk apa?" tanya Diana dengan tangan melipat didepan dada.
Aku terdiam, masih menahan sakit.
"Setelah aku membunuhmu apakah aku akan merasa lega?" tukasnya. "Tidak! Selama Maurer masih ada aku tak akan lega."
"Kalau begitu, bunuh saja Maurer juga."
Diana menyunggingkan bibirnya. "Pastilah dia akan mati."
Aku mendongak menatap Diana. "Aku yang salah, aku tahu bagaimana hatimu."
"Jelas saja kau yang salah, jika kau memang sahabatku tak mungkin kau merebut Maurer."
"Lalu kau mau apa?" Teriakku.
"Kau bunuh Maurer!"
Deg!
Aku menatap Diana. "Kau gila?"
"Kalian yang membuatku gila seperti ini!"
"Sadar, Diana!"
"Kau yang seharusnya sadar!" tukas Diana. "Kau yang memulai, kau juga yang harus mengakhiri."
Aku benar-benar tak habis pikir Diana akan semarah ini. Jika memang endingnya akan ada yang mati. Mungkin tak akan ku terima Maurer dulu. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan aku, aku tak tahu harus berbuat apa.
"Aku tak sanggup!"
"Baiklah kau yang mati!" Diana mengacungkan pistol tepat di dahiku.
Memang benar, setiap langkah tak akan menghianati hasilnya. Ini langkah yang harus aku ambil. Sesuatu sudah terjadi, Diana benar-benar marah. Jelas saja!
Aku berjalan menuju hotel Maurer. Dibelakangku Diana mengikuti. Aku menjadi budaknya. Mataku sembab dan berkantung. Semalam Diana berhasil menyiksaku. Aku benar-benar tertekan, aku tak pernah menyangka Diana akan bertingkah selayaknya binatang. Aku benar-benar menyesal.
"Ketika kau membuka pintu, kau langsung tembak dia." perintah Diana.
Ujung mataku meneteskan airmata. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Diana sahabatku mendadak berubah jadi hantu yang menakutkan. Bahkan untuk menolehnya pun aku tak sanggup.
Jika memang ini balasan atas ulahku selama ini, maka izinkan aku mengulang waktu kemarin. Aku benar-benar tak tahan bahkan tak kuat jika harus membunuh seseorang yang aku sayang.
Aku mengangkat tanganku, dengan pelan aku mengetuk pintu ruang hotel yang biasa Maurer tempati.
Perlahan pintu itu terbuka, aku bersiap-siap mengambil pistol disaku celana.
Diana sudah menunggu saat ini, detik-detik ketika aku membunuh Maurer. Dan ketika pintu itu benar-benar terbuka, aku mengangkat pistolku. Maurer terkaget dan mengangkat tangannya.
"Sekarang!" teriak Diana.
Dan..
Dorrrrr!
Aku menembakan senapan itu. Pelurunya aku yakin mengenai dahi target. Aku masih menutup mata.
Sampai ketika aku membukanya perlahan. Aku mendapati Diana terkapar tak berdaya.
Aku menjatuhkan pistol itu, dan terjatuh memeluk Diana.
Aku menangis histeris sembari berteriak memanggil nama sahabatku.
Maurer menatapku kasihan, ia lalu memelukku dari belakang dan berkata: "Diana mungkin kan baik-baik saja di surga."
Aku menoleh ke arahnya lalu teringat akan kejadian ketika Maurer menyatakan cintanya dulu.

"Diana gila." ucap Maurer.
"Maksudmu?"
"Kau sudah berapa lama berteman dengannya?"
"Dari Smp."
"Apa kau tak tahu siapa yang membunuh ayah dan ibunya dulu?"
Aku menggeleng. "Diana tak pernah menceritakannya."
"Kau ingat kejadian Robert?"
"Mantan dia sewaktu sma?"
Maurer mengangguk.
"Yang membunuh kedua orangtuanya adalah dia sendiri, dan robert juga ia bunuh karna tertangkap basah selingkuh."
Aku terenyak. "Kau serius?"
"Kau tahu aku tertekan setiap dia menginginkan sesuatu."
Aku terdiam tak mengerti.
"Dia mengancam akan membunuhku."
Lagi-lagi aku terenyak. Sejauh ini Diana tak pernah melakukan itu kepadaku. Dia memang keras, tapi aku benar-benar tak habis pikir jika ia memang begitu.
Sejauh kita bersahabat aku tak pernah melihat ke anehan yang terjadi pada sahabatku itu.
"Kau mungkin tak akan percaya."
Aku terdiam, terpatung.
"Kalau tak percaya, mari kita bermain dibelakang. Dan lihat endinya akan bagaimana."

-end-

1 comment:

  1. ditunggu next critanya :)
    jgn lupa mampir di my blog ya

    ReplyDelete