Saturday 14 May 2016

Too Late


Siapa yang tak sakit hati? Adam seakan menghilang tanpa jejak, seakan lupa akan apa yang telah ia perbuat, seakan lari dari tanggung jawab, seakan mematahkan harapan yang sudah Natasha titipkan kepadanya.

Lalu, Adam datang kembali untuk membalut luka yang telah ia perbuat. Seakan tanpa dosa menawarkan cinta, sementara ia datang terlambat.

"Adam." Natasha menghela napasnya.

Wanita itu lalu menatap lurus seseorang didepannya, seakan hendak menikam. Meski dalam hati ia tak menyangka pria ini akhirnya mau kembali menampakan batang hidungnya.

"Yang sudah kamu lakukan ke saya itu jahat!" tukas Natasha.

Adam menunduk, hatinya berkecamuk. Persis seperti Nicolas Saputra yang duduk tak berdaya didepan Dian Sastro. Tak tahu harus apa, tapi jujur yang ia inginkan saat ini hanyalah kembali dan meminta maaf, meskipun ia tahu semua alasan yang ia ucapkan tak mungkin bisa untuk didengar Natasha.

"Saya bukan Rangga." gumamnya.

Natasha tersenyum sinis. Ia semakin mempertajam tatapannya, sampai-sampai membuat Adam tak berani untuk mendongak, untuk membalas tatapannya.

"Pergi tanpa pamit, tidak meninggalkan kabar, dan kembali untuk memulai semuanya dari nol? Apa bedanya kamu dengan Rangga?" tanya Natasha dengan nada yang sengaja dinaikan satu oktaf.

Adam terdiam, membisu. Bodoh, memang bodoh. Habis manis sepah dibuang? Wanita mana yang ingin diibaratkan permen karet?

"Jika kau menganggap cinta itu permainan, kau salah." kemudian Natasha menenggak capucino-nya, sembari kini mengamati cafe yang mulai ramai.

Menatap siapa yang tak berani menatap kita, sama sekali bukan apa yang diinginkan nya saat ini. Yang jelas, wanita itu hanya ingin menuntut sebuah kejelasan, bukan malah menakut-nakuti anak orang.

Adam menghela napasnya. "Tapi aku tak pernah menganggap kau adalah mainanku."

"Kau tahu bagaimana rasanya dipermainkan rindu?" Sejenak Natasha terdiam, mengaduk-aduk kopinya sembari mencoba mengatur emosi. Tapi sedetik kemudian ia melanjutkan perkataannya.

"Jika memang aku bukan bagian dari permainanmu, kenapa kau tidak pernah memberi kepastian tentang cinta yang sudah kita bangun semasa SMA dulu?" tanyanya, kali ini dengan nada biasa.

Adam mendongak, dan untuk pertama kalinya ia mulai berani menatap Natasha setelah satu jam lebih hanya bisa menatapi kedua sepatunya saja.

"Tapi sepertinya kau keliru." ucap Adam.

Natasha mengerutkan dahi, tatapan mereka lalu bertemu.

"Jika memang aku keliru, mengapa tidak kau beri penjelasan agar aku tidak beranggapan bahwa kau adalah penjahat, atau pembunuh tersadis yang pernah aku kenal?"

"Aku bukan pembunuh, memangnya apa yang sudah aku bunuh?"

"Kau bertanya apa yang sudah kau bunuh?" Natasha terbahak. "Apa kau menganggap semua wanita tidak punya hati?"

Dan untuk kedua kalinya lagi, Adam terdiam membisu. Kemudian hening.

Suasana cafe tiba-tiba saja semakin memanas, meski wanita berambut sebahu itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tenang. Tapi entah kenapa pria didepannya ini sangat mudah sekali membuat emosinya naik sampai ke minus seribu, terlebih setiap kali Natasha menatap matanya seakan hatinya ikut tersayat mengingat akan ulahnya dulu.

Natasha menghela napas. "Aku sudah menikah."

Wanita itu lalu mengangkat tangan kirinya, tepat dijari manis itu Adam melihat sebuah cincin melingkar dengan cantik.

"Kau bercanda?" tanya Adam dengan nada gemetar tak menyangka.

Natasha menggeleng. "Jika kau hanya berani memulai kisah tanpa ingin menjadi penutup yang baik, biarku selesaikan endingnya sendiri."

"I-itu tidak mungkin."

"Kau tahu tentang jodoh?" tanya Natasha. "Tuhan tidak akan mungkin salah ketika ia mempasang-pasangkan umatnya, dan atas kepergianmu, aku berterimakasih sekali karena tuhan telah menunjukkan bahwa kau bukanlah jodoh yang baik untuk diriku."

"Tunggu, lalu bagaimana dengan.." ucapan Adam tertahan di tenggorokan.

Pria itu menatap Natasha dalam, dan seiring tatapannya, setetes bening lalu jatuh di ujung mata. Sebuah penyesalan akhirnya terjadi hari ini.


Natasha meraih tangan Adam, dan menggenggamnya. "Kau jangan takut, kau masih bisa bertemu dengan Karin."

Adam tersenyum.

Bukan, ini bukan keinginan Natasha untuk melihat seorang pria menangis didepannya. Tapi jika dibandingkan dengan ulahnya dulu, sudah berapa banyak airmata yang Natasha jatuhkan ketika ia pergi tanpa alasan.

"Jadi namanya Karin?" tanya Adam.

"Karina Putri."

"Dan dia perempuan?"

Natasha mengangguk.

Tak lama sebuah mobil alphard putih berhenti tepat didepan cafe. Seseorang kemudian menampakan dirinya di balik jendela.

"Itu suamiku." ucap Natasha. Adam menoleh ke arah mobil itu.

"Maaf, aku tak bisa lama-lama. Terimakasih atas waktunya, semoga kau menemukan siapa yang menurutmu pantas dan lebih baik daripada aku."

Natasha kemudian berlalu, dengan menyisakan sebuah harapan yang sengaja ia patahkan. Sebenarnya bukan maksud wanita itu untuk berbalas dendam. Tapi waktu akhirnya mengajarkan bahwa diam tidak selalu emas. Terlebih ketika ia dikecewakan.

Setibanya Natasha di dalam mobil, seorang anak kecil lalu menatapnya aneh. Mungkin karena raut wajah Natasha tidak seperti biasanya.

"Mama kenapa?" tanyanya.

Natasha menggeleng, secepat kilat ia mencoba mencari alasan untuk mengganti topik pembicaraan.

"Oh iya, tadi makan siangnya dihabisin nggak?"

"Dihabisin dong."

"Wah hebatnya." ucap Natasha. Sebuah kecupan lalu mendarat dipipi anak berumur 7 tahun itu.

"Oh ya, sha. Kau sudah beli cincin untuk pertunanganku kan?" timpal seorang pria didepannya, sembari tetap fokus mengemudi.

Cincin? gumam Natasha. Wanita itu lalu melirik ke jari manis tangan kirinya. Ia baru sadar bahwa cincin yang ia pakai adalah mas kawin untuk pernikahan sepupunya.

Natasha terbahak, membuat seisi mobil semakin keheranan.

"Ada kok, aku udah beli, tenang aja." ucapnya memastikan.

"Sukur lah, Sha. Oh iya bagaimana dengan Adam?"

"Adam?" tanya Natasha.

"Iya, Adam. Sukses tidak?"

"Oh, Sukses dong."

"Hah, yang benar?"

Natasha mengangguk. "Dan terimakasih juga berkat cincinmu, aku jadi bisa membuat skenario yang cantik."

"Memangnya kau sudah mantap dengan keputusanmu?"

Natasha mengangguk. "Dion, harga diriku ini sudah dia injak-injak dengan seenaknya, dia pergi seenaknya, dan datang dengan seenaknya. Kau kira hidup menjadi aku itu enak? Terlebih ketika aku hamil pun jangankan untuk bertanggung jawab, menanyakan kabar tentang kandunganku pun tidak."

Dion tersenyum.

Sebenarnya apa yang dikatakan Natasha sangatlah benar, perlakuan Adam memang sangatlah jahat. Disaat wanita itu jatuh, hancur, seakan mati adalah pilihan yang terbaik. Adam malah pergi membuat semua keadaan semakin runyam.

Natasha hamil ketika ia lulus dari SMA-nya. Namun ketika wanita itu meminta pertanggung jawaban, Adam malah menghilang tanpa jejak.

Pria itu memang blasteran Indo-Jepang, ayahnya meninggal ketika ia berumur 17 tahun. Ia anak tunggal, sementara ketika ayahnya meninggal, sang ibu pulang ke negri asalnya. Adam tinggal sendiri disini, dan mungkin ketika ia mengetahui Natasha hamil, pria itu pulang ke ibu-nya.

Natasha sempat ingin pergi ke Jepang untuk mencarinya, tapi keinginannya pun kandas seiring waktu menjelaskan bahwa dia bukanlah sosok pria yang pantas untuk dikejar.

"Tapi aku beruntung memiliki Karin." lanjut Natasha, wanita itu lalu menoleh ke arah anak kecil disampingnya. "Buat aku dia adalah segalanya, dan aku bahagia meskipun aku tahu untuk bisa benar-benar bangun itu susah."

"Ya, dan aku tahu kau single mom yang sangat hebat." ucap Dion membanggakan.

Natasha tersenyum.

"Sebenarnya aku bukanlah single mom seperti apa yang oranglain katakan. Pada akhirnya aku memang harus hidup sendiri, mengurusi anakku sendiri, membesarkannya agar tidak bernasib sama seperti ibunya. Pada akhirnya aku memang harus menjadi kuat sendiri, untuk anakku, untuk keluargaku, untuk orang-orang disekitarku. Aku memang tidak mampu untuk bangun dari sosok Adam. Pria itu akan selalu hidup, dan melekat diingatan. Tapi jika aku tidak sudahi sekarang, sampai kapan aku akan bisa benar-benar bahagia? Sekalipun ia menangis darah meminta agar kita untuk bisa kembali, kembalikan dulu waktu yang sudah ia buang secara percuma." batin Natasha.

- The end -

No comments:

Post a Comment