Friday 1 April 2016

Pamit

Pagi itu tampak sunyi, setelah selesai sarapan Diana langsung memapah suaminya kedepan dan membantu mengenakan dasi dengan tatapan kosong tak seperti biasanya. Lalu sebuah bening tiba-tiba jatuh di ujung mata seakan memberi isyarat bahwa ia tidak baik-baik saja hari ini.

"Apa aku boleh menahanmu?" tanya Diana penuh harap. Matanya sayup, tubuhnya gemetar, dengan napas yang tak beraturan.
Alex mengerutkan dahinya. Ia mendengar sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak biasa Diana tanyakan.
"Ada apa?" tanya pria tinggi tegap itu keheranan.
"Kemarin aku bermimpi buruk tentangmu," Diana menunduk. "Mataku selalu berkedut akhir-akhir ini, dan tadi aku memecahkan vas bunga padahal aku sudah sangat hati-hati."
Alex menatap lurus wanita di depannya, ia lalu mengusap lembut rambut Diana. "Itu mungkin firasatmu saja."
"Firasat?" gumam Diana. "Oh, ya mungkin saja. Tapi apakah boleh aku menahanmu?"
Alex menggeleng. "Tidak untuk hari ini, sayang."
"Aku hanya takut sesuatu terjadi kepadamu!" ucap Diana sembari berjalan ke depan dan menengadah ke arah langit yang cerah. Tangannya setengah memeluk tiang rumah, masih dengan raut wajah yang basah.
"Aku hanya takut ketika kau terbang tak bisa turun, atau bahkan takut ketika terbang lalu jatuh."
Alex terdiam tak mengerti, lalu dia mengejar Diana dan berhenti tepat dibelakangnya.
"Satu hal yang aku takut darimu, kau tidak bisa pulang dengan raga yang utuh." ucap Diana sedih.
"Kau harus bisa melawan firasatmu itu."
"Jika mudah, mungkin sudah aku lakukan sedari dulu."
"Aku yakin kau pasti bisa."
"Pasti, tapi aku ingin kau tetap disini."
"Diana, aku ini punya tanggung jawab yang sangat besar."
"Kau juga harus paham aku ini berbeda!"
Alex terdiam lagi. Diana memang berbeda, terlebih ia tak pernah nyaman akan hidupnya dan selalu merasa takut.
"Tapi jika kau ingin pergi, pergi saja. Lagian siapa yang mau berlama-lama hidup bersama orang yang punya banyak perbedaan."
"Diana, aku tulus mencintai kelebihan dan kekuranganmu!" tegas Alex. "Lagian aku tak pernah mempermasalahkan siapa kamu dan apa perbedaanmu!"
"Aku hanya ingin kau tetap disini, apa susahnya?" Diana membalikan badannya. "Kau tahu aku ini yatim? Bahkan kematian ayah sudah ku ketahui sebelumnya."
"Diana.."
"Atau Lala, adikku yang jatuh dari lantai atas rumah kita?"
"Tidak, Diana."
"Dan Leon?"
"Hentikan Diana!" bentak Alex.
Wanita itu terdiam, ia membuang wajahnya kesamping.
"Kau harus melawan itu semua, aku baik-baik saja, dan aku pasti akan baik-baik saja!"
"Kau tahu bagaimana perasaanku saat ini?" tanya Diana lirih.
"Aku tahu, aku tahu sekali bagaimana perasaanmu, aku selalu tahu!"
Diana menghela napasnya, kemudian hening sampai akhirnya ia mengusap airmata dan memeluk Alex erat. Mungkin ini hanya firasatku saja, mungkin sudah saatnya aku melawan firasatku, batin Diana.
"Aku akan baik-baik saja, Di." Alex membalas pelukan istrinya. "Kamu jangan takut!"
Diana lalu mengangguk. Sesuatu mungkin akan terjadi setelah ini, dan apapun itu Diana harus siap menerimanya.
"Pergilah sayang, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu!" ucapnya berbisik.
Alex mengangguk. "Kau harus percaya, aku akan baik-baik saja."
"Aku percaya suamiku." Diana melepas pelukannya, ia lalu mengenakan topi pilot dikepala suaminya.

Tak lama, Alex pun pergi menuju bandara untuk menjalankan tugasnya. Namun tiga puluh menit ketika ia berhasil terbang, tiba-tiba saja pesawat yang ia terbangkan meledak di atas menewaskan seluruh petugas dan penumpang yang ada disana, termasuk dirinya.
Diana hanya bisa menangis ketika kabar itu muncul di televisi. Ia sangat menyesal tak berhasil menahan Alex untuk pergi.

Dan pagi itu tampak sunyi, hanya terdengar isakan tangis orang-orang yang mengiringi jenazah Alex menuju tempat terakhirnya.
Diana masih tak habis pikir Alex anak meninggalkan dirinya secepat ini. Ia hanya bisa menatap batu nisan itu, sembari sesekali mengusap airmatanya dengan tisu. Namun hari tak terasa semakin gelap, gemericik hujanpun mulai turun satu demi satu.
Diana menengadah, ia mendapati awan yang mulai menghitam dan basah.
"Sayang, lihatlah langit yang biasa kau lewati itu, ia ikut menangis menyadari takdir bahwa kau tak akan lagi bisa terbang seperti biasanya." ucap Diana. "Maaf aku tak berhasil menahanmu."

No comments:

Post a Comment