Friday 26 February 2016

3600 detik


Aku melihat dia keluar dari kelasnya.
Hari ini masih sama, dia tetap cantik dengan kemeja merah, celana jeans yang dilipat, dan sneakers adidas model terbaru. Selalu tampil casual dengan ciri khasnya.
Satu bulan mengenalnya sangat cukup untuk mengetahui bagaimana karakteristik wanita berrambut sebahu itu.
Tunggu, mengenalnya? Ah, mungkin lebih tepatnya mengamati dia dari belakang. Ala-ala spy gitu.
Aku tahu kita banyak sekali persamaan. Sama-sama mencintai sastra.
Ya, aku adalah salah satu mahasiswa swasta di Banten. Memilih jurusan Sastra Indonesia membuatku benar-benar yakin akan masa depanku. Dan Dia, wanita yang kini berjalan di depanku pun sama. Kita hanya dipisahkan oleh ruang dimana kita belajar.
Namun begitu aku masih bisa menatapnya, bahkan sesekali ia pun menatapku, dan melontarkan senyum.
Ah, ya! Apa ini sudah saatnya aku mengenal dia lebih jauh? Lagian Aku tak begitu jelek, bahkan IP ku di atas yang lain.
Aku tahu dia pasti sudah mengenal namaku. Iya, hanya nama. Bukankah karyaku sering muncul di Mading kampus? Bahkan tak jarang terbit dikoran dan majalah.
Lalu aku melirik ke arah jam ditanganku. Sekitar pukul 17.20 wib, dia berjalan sendiri dengan suasana koridor yang sepi. Aku mengekor dibelakangnya sembari tak bisa untuk tidak melirik ke arahnya.
Bodoh! Apa aku tak takut jika dikira penjahat? Atau penguntit? Atau...
"Bagaimana kalau kita jalan bareng?"
Deg!
Aku shock ketika mendapati wanita itu kini berdiri tepat di depanku. Jelas saja siapa yang tak curiga di ikuti pria dengan gelagat aneh sepertiku? Meskipun pada dasarnya kita berjalan ke arah yang sama.
Dengan gugup aku mengangguk sebelum akhirnya kita melanjutkan langkah, bersama.
Tapi tanpa ia sadari sebenarnya hatiku malah bersorak, ini momment yang paling aku tunggu-tunggu. Tak begitu buruk meski ku tahu sebelumnya ia sempat mencurigaiku. Ya, kali ini keberuntungan berpihak kepadaku!
"Aku, Rival." ucapku mengulurkan tangan.
Dia menoleh ke arahku sembari melempar senyum. Ini kali pertama aku melihat senyuman manisnya dari jarak dekat, dan itu luar biasa.
"Nadya." jawabnya lalu menjabat tanganku.
Lembut, hanya itu yang aku rasa. Bukan, dia bukan selimut. Aku tahu, tapi entah kenapa tangankku seakan tak ingin melepaskan tangannya.
"Salam kenal." ucapku.
Ia mengangguk.
"Mau pulang?"
"Iya."
"Kok keluar terakhir?."
Nadya tersenyum. "Semuanya udah tau kali kalo aku mapala."
"Mapala?" tanyaku. "Maksudnya?"
"Ya, mahasiswa paling lama."
"Oh." Mulutku membulat sambil cengengesan. "Emang ada tugas?"
Nadya mengangguk lagi.
"Tugas apa?"
"Cerpen."
"Terus udah."
"Udah."
"Btw, tentang apa?"
"Cinta."
"Wah, pasti galau dong?"
"Hahaha.." Nadya terbahak. "Sedikit sih."
"Kalau boleh tahu, judulnya apa?"
"Remember Rain."
"Tuh kan dari judulnya aja aku udah bisa nebak kalau ceritanya pasti galau banget." ucapku. "Kapan-kapan aku baca ya?"
"Hahaha.. Dengan senang hati, tapi jangan baper ya?!"
Aku terbahak. Baper hanya karena baca cerpen? Ah, Sebenernya sering sih. Apalagi kalau yang berbau perpisahan. Hmm, ternyata tidak butuh waktu lama untuk bisa sedekat ini.
"Iya deh janji, tapi pengen tau dulu quotenya apa?"
"Karna hujan selalu hadir dengan rindu yang belum sempat tersampaikan." ucap Nadya menatapku.
Deg!
Aku terdiam, jadi belum apa-apa aku sudah galau duluan? Ah! Bukan karena quotenya saja, tapi karena aku juga yang selalu canggung jika ditatap wanita, apalagi dengan tatapan yang lurus.
Lalu tak lama tiba-tiba hujan turun ketika kita tiba di depan pintu keluar. Dari awal memang sudah gerimis, ditemani suara petir yang sedikit menggelegar.
Ini mungkin akan lama, aku melihat raut ke kecewaan di wajah Nadya. Aku tahu ini sudah sore menjelang maghrib, sedangkan diluar hujan turun begitu lebat. Dan antara pintu keluar kampus menuju parkiran sangatlah jauh. Tak mungkin jika kita harus menerobosnya.
Tapi meski begitu, aku sih senang bisa berlamaan dengan Nadya. Dengan begitu, aku bisa mengenalnya lebih jauh dan jauh lagi. Oh god! Ini kedua kalinya keberuntungan berpihak kepadaku. Terimakasih hujan!

Nadya menghela napasnya. "Ah! Rain in campus." gumamnya kemudian melirik ke arahku.
Aku tersenyum, lalu berpura-pura membuang mata padahal sebenarnya ingin sekali menatap mata Nadya yang sipit itu.
"Mirip judul novel." ucapku, mencoba mengusir kecanggungan.
"Karya Cindy Pricilla?" tanya Nadya.
"Yap!" Aku mengangguk, kali ini menoleh ke arahnya. Mencoba berani meski dengan hati yang berdebar tak karuan. "Rain in Paris, kamu pernah baca?"
"Pernah dong, dan mungkin karna novel itu juga aku jadi suka lagu Air Supply yang judulnya Goodbye."
"Oh, ya?"
Nadya mengangguk.
"Lagu itu sebenernya udah lama banget."
"Aku tahu." ucap Nadya. "Kamu bisa nyanyi bagian reff-nya?"
Aku terdiam sejenak. "Nadya menatangku?" batinku. "Ah jangan salah Nad, dulu aku pernah ikut Idol meski nggak lolos pas audisi. Tapi kata Ahmad dani suara aku itu lumayan."
Lalu aku menatap hujan yang jatuh ke tanah, kemudian bernyanyi:
"You would never ask me why..
My heart is so disguised..
I just can't live a lie anymore..
I would rather hurt myself..
Than to ever make you cry..
There's nothing left to say, but goodbye.."
Nadya bengong, menatapku dengan tatapan kosong. Tak lama ia bertepuk tangan. "Jadi selain penulis, kamu juga punya suara sebelas dua belas sama kayak Ari laso?" decaknya kagum.
Sejenak wajahku memerah. Bagaimana tidak, aku dipuji oleh orang yang aku suka. Meskipun entah itu benar atau malah bohong belaka. Tapi yang jelas aku senang sekali.
"Kamu bisa aja, tapi masih bagusan Ari laso deh kayaknya." ucapku.
"Ya seenggaknya mirip-mirip dikit lah." Dia lalu tertawa, diikuti aku yang juga tertawa.
Finally, aku berhasil membuat Nadya terpukau sekaligus tertawa. Entah kenapa aku merasa sangat nyaman sekali, hingga tak terasa 40 menit sudah kita lalui waktu berdua. Sementara hari semakin gelap.
Aku menghela napasku dalam. "Kamu suka hujan?" tanyaku.
"Hujan?"
"Iya, hujan." aku lalu bangkit mendekat ke ujung dan merasakan tetesan hujan yang jatuh dengan tanganku.
"Suka." tak lama Nadya menyusulku.
"Kalau gitu gimana kalau kita terobos hujan?"
Nadya mendongak ke atas memastikan apakah hujan akan mungkin bisa diterobos.
"Kamu yakin?" tanyanya.
"Aku bawa mantel kok dimotor."
"Tapi aku nggak yakin kita bisa pulang tanpa basah kuyup."
"Aku bawa dua mantel."
Nadya terdiam.
"Atau kita nunggu disini sampe hujan reda?"
Nadya masih terdiam. Ia lalu melirik ke arah jam ditangannya.
"Sebenernya aku punya janji sama temen, dan dia mau jemput aku kesini." ucap Nadya. "Tapi mungkin dia lagi neduh sekarang, kita tetep disini aja sampe dia dateng, kamu mau kan nemenin aku?"
Aku menoleh ke arahnya. "Kamu serius?"
Nadya mengangguk mantap.
Ah! Justru itu yang aku mau, bisa berlama-lama disini. Apalagi ditemani kamu. Jangankan harus menemani kamu buat saat ini, buat besok dan sampai kapanpun aku mau.
"Oh, ya. Val." seru Nadya. "Kamu suka hujan?"
Aku melirik ke arahnya lalu tersenyum mendengar ucapannya.
Aku mengangguk. "Suka."
"Kenapa?" tanya Nadya.
"Karena hadirnya mampu menjelaskan bahwa ada yang sejuk setelah gersang."
Nadya tersenyum. "Lalu, sastra?" kali ini ia menatapku dengan tatapan yang tak biasa, dan aku tak bisa menutupi hati untuk tidak membalas tatapannya. Yes! Akhirnya aku tak canggung lagi.
Aku menghela napas dalam. "Terkadang aku berpikir jika aku diciptakan dari kata yang sengaja tuhan pecah-pecah, kemudian aku harus menyusunnya, menyatukannya untuk menjadi satu kalimat yang indah."
"Maksudnya?" tanya Nadya penasaran.
"Ya kaya, cinta-kamu-aku."
"Aku cinta kamu."
"Aku juga!"
Deg!
Nadya tersenyum malu, lalu membuang tatapannya.
"Maksudnya gini lho, semuanya punya proses dan kenapa aku bisa begitu mencintai sastra? Karna ada proses yang panjang banget. Kaya satu kalimat yang kadang harus disusun dulu biar terlihat indah, dan aku nemuin kalimat itu."
Yes! Hatiku bersorak. Apalagi ketika melihat wajah Nadya yang kini memerah.
Sebenarnya tidak ada niatan untuk gombal, tapi terkadang waktu malah mendorong kita untuk melakukan hal yang frontal.
Nadya menghela napasnya. "Kalau begitu, berarti hidup ini kaya puisi." gumamnya.
Aku menatapnya dalam. Bahkan kali ini aku sudah berani menatap wanita. Aku sudah benar-benar tak canggung lagi.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Karna klimaks nggak harus di akhir. Nikmati aja setiap alurnya, dan kamu nanti akan tahu endingnya gimana."
Aku tersenyum. "Jadi kamu memilih sastra tanpa tujuan?"
Nadya menoleh ke arahku. "Aku bukan pemimpi kayak mereka, hanya penikmat hidup yang percaya setiap langkah sudah di rencanakan sama yang diatas."
"Termasuk pertemuan kita ini?"
Deg!
Nadya terdiam.
Hening, sampai pada akhirnya. Sebuah mobil toyota rush berhenti tepat di depan kita. Lalu keluarlah seorang laki-laki dengan payung putih dan berjalan ke arah kita berdiri.
Aku melirik ke arah jam ditanganku, ternyata sudah satu jam kita disini dan kini tiba saatnya kita harus berpisah. Entah kenapa waktu terasa cepat dan ada sesuatu yang membuatku sedih. Aku tahu, meskipun ada hari esok tapi belum pasti kita bisa berbincang sedekat ini.
"Kau sudah menungguku lama?" tanya laki-laki itu.
Nadya mengangguk. "Kurang lebih satu jam."
"Oh, ya?" ucap lelaki itu kaget. "Maaf, tadi ada masalah kecil di kampus."
"Aku kira kau bawa motor."
"Tidak, sekali lagi maaf ya Nadya."
"Tidak apa-apa, untung ada Rival." ucap Nadya menoleh ke arahku. "Oh ya, Ndre. ini Rival." Ia lalu memperkenalkan ku dengan laki-laki itu.
"Syukurlah.. Oh, aku Andre." ucapnya mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya.
"Temannya Nadya?" tanya Andre.
Aku mengangguk. "Kau juga?"
"Aku?" Andre tersenyum. "Mungkin lebih tepatnya teman hati."
Deg!
Aku menoleh ke arah Nadya dengan alasan ingin tahu apa maksud yang dikatakan Andre, dan wanita itu malah tersenyum lalu mengangguk.
"Dia pacar aku, val." ucapnya.
Dan aku speechles!

- end -